Jumat, 24 Desember 2010

Sebuah Profesi, Segenggam Idealisme

Apa ada kaitannya antara profesi dan idealisme? Jawabannya, tentu saja ada kaitannya.

Ketika berbicara tentang idealisme, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang yang militan, kaku, tegas, memegang prinsip-prinsip yang diyakininya, nilai-nilai, norma, aturan yang berlaku, moral, dan rasa keadilan. Bisa jadi memang demikian. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang-orang idealis akan tetap menjadi seorang yang idealis manakala harus berbenturan oleh berbagai kondisi dan kepentingan? Atau mereka akan menyerah pada keadaan?

Mungkin banyak diantara kita ketika masih sekolah atau kuliah adalah seorang idealis tulen. Selalu siap mengatakan yang benar kendati itu sering menyakitkan diri kita sekalipun. Sayangnya, idealisme itu seringkali hanya bertahan dalam kampus-kampus. Begitu keluar dari lingkungan sekolah / kampus, serta merta / gradual idealisme itu ditinggalkan. Alasannya sungguh mengenaskan : “Kita harus melihat kenyataan yang sesungguhnya. Tidak lagi berbicara di angan-angan. Tuntutan hidup menghendaki demikian”.

Alasan itu seakan-akan mengatakan bahwa apa yang mereka perjuangkan selama sekolah / kuliah hanyalah sebuah gagasan utopis, tidak berpijak pada kenyataan. Bahwa prinsip-prinsip yang mereka pegang selama ini adalah sebuah omong kosong, kata-kata muluk. Dan ini banyak kita jumpai sekarang ini. Betapa banyak pejabat negeri ini, yang terjerat berbagai kasus hukum, dulunya adalah para aktivis kampus, para idealis yang senantiasa menyuarakan, memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Hal ini sungguh tragis. Mestinya jika prinsip yang mereka pegang adalah kebenaran, maka sudah selayaknya hal itu dibawa sampai kapanpun. Bahkan sampai di tempat kerja, dimana banyak godaan yang menghendaki kita meninggalkan idealisme itu. Dan kalau boleh saya katakan, ada beberapa profesi / pekerjaan yang memang menuntut idealisme. Jika dalam ranah ini idealisme ditinggalkan, maka rusaklah inti / nilai dari profesi itu. Misalnya saja, guru, dokter, petugas keamanan, penegak hukum, wakil rakyat, birokrat, presiden.

Mereka-mereka ini, sejak awal memang sudah dituntut untuk menjadi seorang idealis. Bayangkan saja jika seorang guru mengkomersiilkan setiap ilmu yang diajarkan kepada muridnya, apa yang akan terjadi pada pendidikan kita? Atau, bagaimana jika para penegak hukum rela meninggalkan prinsip-prinsip keadilannya demi segepok uang, memperjualbelikan hukum? Yang terjadi adalah seperti yang kita lihat sekarang pada hukum di negeri kita ini.

Bayangkan pula jika seorang dokter hanya mau menolong pasien jika sang pasien sudah membawa uang sekian rupiah dulu. Apa yang akan terjadi pada pasien yang sedang sekarat? Dimana nilai moralnya? Atau bagaimana jika seorang presiden mau-maunya tunduk kepada kepentingan asing, tidak melihat kepada kepentingan rakyatnya, nasib rakyatnya. Akan jadi seperti apa negeri yang dipimpinnya?

Semua itu hanya gambaran, bahwa ada profesi-profesi tertentu yang lebih menuntut pengorbanan, menjunjung idealisme, daripada materi yang diperoleh. Maka akan sangat salah jika sekarang banyak pengangguran berbondong-bondong mengikuti CPNS, misalnya, karena ingin memperoleh gaji yang besar, dengan kerja yang tidak seberapa!! PNS adalah profesi yang penuh idealisme. Mereka adalah pelayan masyarakat. Mereka bukan majikan, tetapi pelayan!! Jadi jika tidak memiliki jiwa pengabdian, lebih baik tidak usah menjadi seorang PNS. Lihat saja sekarang ini, banyaknya “bisnisman” yang menjadi PNS telah menjadikan pelayanan publik berjalan dengan sangat buruk.

Memang sangat susah menjunjung idealisme di tengah kepungan kehidupan yang hedonis dan materi-oriented. Tetapi jika kita masih percaya kepada Keadilan Tuhan, harga diri yang tinggi, yakin kepada kebenaran, maka sudah selayaknya kita terus menggenggam idealisme itu. Apapun resikonya!

Surga Di Bawah Telapak Kaki Ibu ?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari ada seorang sahabat bertanya pada Nabi SAW, “Ya Rasul, siapakah yang lebih layak aku muliakan?” Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Pertanyan itu diulang-ulang. Dan jawaban Rasulullah tetap sama sampai tiga kali. Baru kemudian yang keempat jawabannya adalah “Ayahmu”. Dalam hadist lain Rasulullah juga menyebutkan bahwa surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.

Yang kemudian menjadi pertanyaan saya adalah, ibu / wanita yang seperti apakah yang layak memiliki surga di bawah telapak kakinya?

Melihat kenyataan sekarang ini, betapa banyak ibu-ibu yang meninggalkan bayinya dengan sebotol susu kaleng demi mengejar kariernya. Atau tak mau menyusui putra-putri mungilnya karena tak ingin bentuk tubuhnya menjadi tidak ideal. Atau menjajakan tubuhnya di tepi-tepi jalan atau di tempat prostitusi dengan alasan ekonomi atau apapun itu (bahkan ini sudah dilakukan pula oleh para ABG!!!). Atau sengaja mengeksploitasi tubuhnya melalui berbagai media dengan bangganya.

Semua fakta ini, dan banyak fakta lainnya, menjadikan saya bertanya seperti di atas. Ditambah lagi, dalam suatu waktu, Rasulullah juga pernah mengingatkan para wanita agar banyak-banyak bersedekah, karena beliau mengetahui bahwa sebagian besar penghuni neraka adalah para wanita. Bagaimana hadist ini dikonfrontierkan dengan hadist tentang kemuliaan wanita yang tersebut di atas?

Pada dasarnya wanita memang memiliki kelemahan akal (bukan berarti bodoh). Dalam arti, wanita lebih banyak menimbang segala sesuatu dengan perasaannya, bukan akalnya. Padahal seringkali perasaan itu menipu. Perasaan membawa kesubjektifan. Akal membawa keobjektifan. Kesubyektifan ini menjadikan wanita mengukur segala sesuatu dari sudut pandang dirinya sendiri. Artinya, sesuatu bisa menjadi benar ketika hal itu “cocok” atau sesuai atau “sreg” dengan perasaannya. Dan menjadi salah ketika perasaannya mengatakan demikian. Bukan lagi berpatokan pada aturan yang berlaku, norma, atau pandangan umum manusia (objektif).

Banyak wanita tertipu oleh perasaannya, yang menjadikan dirinya tertipu pula oleh dunia. Menganggap dunia ini adalah surga. Memperturutkan hawa nafsunya (bukan berarti lelaki tidak). Inilah yang kemudian menjadikan wanita banyak yang masuk neraka. Dan Rasulullah menyarankan agar banyak-banyak bersedekah, supaya pahala sedekah itu dapat menutup dosa-dosanya.

Kita juga pernah mendengar, bahwa kesuksesan seorang lelaki tak lepas dari wanita di belakangnya, dan kemalangan seorang lelaki juga tak lepas dari wanita di belakangnya (yang kedua ini mungkin jarang kita dengar). Atau ungkapan lain, kokoh dan tegaknya suatu negara terletak di tangan wanita-wanitanya, dan kehancuran suatu negara juga terletak di tangan wanita-wanitanya. Ungkapan-ungkapan ini rasanya memang tepat. Wanita-wanita yang baik akan mempengaruhi lelaki-lelakinya untuk berbuat baik, dan begitu pula sebaliknya.

“Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang salihah” Begitu sabda Nabi SAW. Inilah kiranya wanita yang memiliki surga di telapak kakinya. Wanita salihah. Mereka adalah wanita-wanita yang mampu menjaga diri dan kehormatannya (dan kehormatan suaminya), menundukkan pandangan, menjaga lisan, mengingat Allah di setiap langkahnya, mengutamakan keluarganya di atas ambisi dan kepuasan pribadinya, menyayangi dan mencintai karena Allah.

Mereka-mereka ini tidak silau oleh segala keglamoran dunia yang menipu. Mereka punya keinginan-keinginan, tetapi mereka selalu menimbang dan mengukur atas dasar kebutuhan yang riil, ridha suami dan ridha Allah. Mereka memiliki jiwa altruisme yang tinggi. Mereka mendengarkan nurani mereka berbicara. Mereka meneteskan keringat dan air mata, mencurahkan cinta dan sayangnya untuk suami dan putra-putrinya, ayah dan ibunya. Mereka menciptakan generasi-generasi yang luhur dan bermental baja. Mereka mendengar, patuh, dan taat manakala diberi nasihat atau teguran. Mereka bukan wanita yang lemah dan pasrah. Mereka wanita yang tegar, kuat dan tabah menghadapi badai sekeras apapun, ombak sebesar apapun. Mereka adalah wanita yang senantiasa memohon kepada Allah di setiap shalatnya, kebaikan-kebaikan bagi keluarganya. Mereka melihat dengan mata hatinya. Mereka berpikir dengan qalbunya.

Mereka inilah wanita-wanita salihah. Mereka-mereka inilah yang diberi titipan surga oleh Allah di bawah telapak kakinya.

Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…
Ibu…
(Iwan Fals – Ibu)

Samantha dan Bonekanya

Samantha hanya tahu cara berlari. Kau tak akan bisa memegangnya. Ia bagaikan belut yang lincah berkelit. Tapi ia adalah seorang putri. Putri yang cantik. Dengan wajah merona dan selalu ceria. Rambut pendeknya dibiarkan morat-marit. Tapi ia tetap cantik. Jari lentiknya bergerak kesana kemari. Seperti halnya dirinya. Menari, berlarian. Mengikuti kemana angin berhembus.

Tapi ia pada suatu saat. Berhenti dari berlari. Duduk sambil memeluk bonekanya. Menggumam lirih. “Kita akhirnya akan berhenti di suatu titik. Dimana mimpi akan memudar. Dan yang tersisa adalah kenyataan. Kenyataan yang terkadang begitu mencekam. Bahkan seakan menghentikan aliran darah kita. Tetapi tetaplah titik itu. Ia ada ketika kita belum ada. Ia tetap ada ketika kita telah tiada.”

“Senyata-nyatanya kita memungkiri diri. Kita akan terhempas dalam kedalaman diri. Takkan bisa mengelak. Takkan sanggup menghindar. Seperti halnya kita tak bisa menolak hujan. Kendati kita membencinya. Kendati aku tak suka basah. Tapi ketika hujan datang, aku akan menari-nari di bawahnya.” Itu kata Samantha. Sambil memeluk bonekanya.

Boneka? Ya. Itu dia. Kau tak pernah tahu bukan kenapa dia selalu membawa bonekanya? Aku pun masih sering bertanya tentang itu. Tapi boneka itu selalu menemaninya. Ia berlari, atau berdiri, boneka itu ada. Ia bicara pada bonekanya. Seperti boneka itu punya nyawa. Seperti ia mengenalnya. Tapi bukankan Samantha memang mengenalnya?

Samantha. Gadis cantik berusia dua puluh-an. Ketika aku mengenalnya. Ia yang selalu menari. Berlarian di padang ilalang. Tak pernah lelah-lelahnya. Hanya berlari, menari, tertawa. Tak pernah ada kata. Kecuali waktu itu. Aku telah menceritakannya kepadamu. Dan itu membuatku heran. Dan terluka. Terluka karena melihatnya tampak terluka. Apakah Samantha terluka? Mungkin bonekanya yang tahu. Karena ia selalu bercerita boneka itu. Dengan pelukan. Dengan tatap mata.

Lalu di hari itu aku tak menemukan Samantha. Aku tak menemukannya di padang ilalang. Aku tak menjumpainya di gubuk dekat danau. Tempat dimana ia pernah berkata. Dalam gumamnya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Bonekanya! Mungkin boneka itu yang membujuknya. Untuk pergi dariku. Untuk membiarkanku terkatung-katung mencarinya. Ya, pasti boneka itu. Boneka itu pasti telah membawa Samantha. Tapi kemana? Tapi kenapa?

Aku tak pernah menyakitinya. Kenapa ia meninggalkanku? Apa ia membenciku? Ah, tidak. Aku harap tidak. Aku tak mau Samantha membenciku. Aku ingin Samantha tahu, bahwa aku sangat perduli kepadanya. Tapi aku belum pernah mengatakannya. Bodohnya diriku. Kalau saja ada kesempatan lagi. Kalau saja aku bertemu lagi dengan Samantha. Aku tak akan membiarkannya pergi lagi dariku. Tak akan.

Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang. Suara ibuku. Ah, ia memanggil namaku. “Samantha, kau disitu…?”

Rokok : Mungkinkah Ditiadakan?

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di kabinet menteri merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok
di apotik yang antri obat merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Membaca syair Taufik Ismail di atas membuat saya seperti diingatkan kembali betapa buruknya dampak rokok bagi kehidupan kita. Sayangnya kita sudah terlalu kebal dengan keburukan rokok ini, menganggapnya biasa, karena rokok selalu berseliweran dengan bebas di sekitar kita. Dampak negatif rokok bukan hanya dari segi kesehatan (yang sudah jelas dan pasti), akan tetapi dari segi-segi lain seperti sosial, mental, bahkan ibadah juga dapat kita rasakan. Saya jadi punya mimpi, bilamana rokok ini ditiadakan, mungkinkah?

Jika Anda perhatikan, rokok telah dikonsumsi oleh orang dari berbagai kalangan. Mulai rakyat berpenghasilan rendah sampai para pejabat tinggi, dari penjahat sampai ulama. Bahkan yang lebih miris, dari usia anak-anak sampai kakek-kakek. Laki-laki dan perempuan, walaupun kecenderungan tetap pada laki-laki.

Dari segi mental misalnya, orang berekonomi tinggi menjadikan rokok sebagai gaya hidup. Orang berekonomi sedang menjadikan rokok sebagai kebiasaan. Dan orang berpenghasilan rendah menjadikan rokok sebagai pelipur lara dan gundah gulana. Dari situ jelas terlihat bahwa rokok tak pernah benar-benar menjadi sebuah kebutuhan mendasar, pokok, atau mendesak, yang jika tidak terpenuhi orang akan tidak mampu bertahan hidup.

Dari segi sosial, orang rela membuang uangnya sekian ribu per hari, per bulan, untuk membeli barang yang dapat menyakiti dirinya. Bagi yang berekonomi sedang atau tinggi, mungkin tak ada masalah dari segi ini. Tetapi bagaimana dengan yang berekonomi rendah? Tak jarang kita jumpai orang-orang miskin rela tidak makan hanya demi rokok, rela bertengkar dengan anak istrinya hanya karena rokok, nekat memalak, menjambret orang hanya karena tak mampu menahan keinginan untuk merokok.

Dari segi lain seperti ibadah misalnya, orang membeli rokok sama saja dengan membeli penyakit, menyakiti dirinya sendiri. Menyakiti diri sendiri jelas-jelas dilarang oleh agama. Belum lagi dari aspek membuang-buang uangnya. Bukankah uang itu dapat digunakan untuk sedekah,misalnya? Orang merokok tak jarang sambil ngobrol ngalor ngidul yang mungkin manfaatnya tak terlalu ada. Dan tak jarang mereka menjadi lalai ketika telah tiba waktu beribadah.

Tak heran jika kemudian ada ormas Islam yang mengharamkan rokok. Kendati sempat membuat heboh seluruh negeri, fatwa ini kemudian seakan-akan hilang di tengah pusaran waktu. Lebih banyaknya orang yang kontra daripada yang mendukung fatwa ini, menjadikan fatwa ini cepat dilupakan orang. Terlebih lagi pemerintah seakan juga kontra dengan fatwa ini, meskipun hal itu tidak ditunjukkan. Pasalnya, pemerintah memperoleh pendapatan yang besar dari cukai rokok ini. Dan tentu saja pemerintah tak mau kehilangan kesempatan ini.

Kembali ke pertanyaan awal, seperti judul tulisan ini, Mungkinkah rokok ditiadakan? Kalau boleh saya bermimpi, maka kemungkinan itu bisa jadi fifty-fifty, tergantung keseriusan kita semua. Pihak pertama yang paling berwenang dalam hal ini jelas, pemerintah. Jika pemerintah serius meniadakan rokok dari negeri ini, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat skema/skenario, dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, yaitu mengatasi dampak sosial dari merokok yang berupa pengangguran sekian juta rakyat Indonesia yang bergantung pada industri rokok dan tembakau ini.

Hal yang pasti harus dilakukan adalah mengalihkan semua kegiatan perekonomian yang berkaitan dengan rokok dan tembakau kepada kegiatan lainnya. Misal, perkebunan tembakau dirubah menjadi perkebunan coklat, atau kopi, atau yang lainnya. Tentu saja dengan berbagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Dan perubahan ini juga harus didukung oleh analisis mengenai pangsa pasar apa yang masih terbuka, baik di dalam maupun luar negeri. Pabrik-pabrik rokok pun juga mesti mengikuti perubahan ini.

Pihak kedua adalah praktisi kesehatan. Mereka berperan memberikan penyuluhan, himbauan, penyadaran kepada masyarakat tentang dampak negatif rokok dari segi kesehatan. Pihak ketiga adalah ulama/rohaniawan. Mereka ini memberikan pemahaman kepada masyarakat ditinjau dari segi agama. Dan tentu, sebelum hal itu dilakukan, para ulama harus memberi teladan terlebih dahulu dengan meninggalkan rokok dari kehidupan mereka. Sayangnya, banyak ulama yang ahli hisab (rokok) memandang bahwa rokok toh masih makruh (menurut mereka), sehingga tetap boleh dikonsumsi. Mereka tidak mencari yang lebih utama, yaitu dengan meninggalkannya. (Jika ulamanya berpandangan seperti itu, bagaimana dengan orang awam?)

Andaikan saja tiga pilar itu telah menjalankan perannya dengan baik, maka selanjutnya adalah sosialisasi sejak dini melalui sekolah-sekolah. Dan tentu saja ini berarti para guru dan Kepala Sekolah harus memberi contoh terlebih dahulu dengan tidak merokok.

Jangan Anda berpikir bahwa semua ini harus dilakukan secara cepat. Tidak, tentu tidak. Melainkan secara gradual. Buat dulu wilayah percontohan (pilot project). Setelah berhasil baru diterapkan di daerah-daerah lainnya. Ini tidak mudah. Kuncinya adalah di sikap pemerintah, keseriusan dan konsistensinya. Karena hal ini akan berlangsung sampai mempergantikan pemerintahan berkali-kali. Dalam kurun waktu 30-50 tahun (minimal) mungkin baru bisa terlihat hasilnya.

Ini adalah mimpi saya, jika saya boleh bermimpi. Dan tentu saja langkah-langkah yang saya sebutkan di atas masih terlalu mentah untuk diterjemahkan menjadi sebuah solusi. Saya berharap akan banyak ahli-ahli, orang-orang cerdas di negeri ini yang bersedia mencarikan jalan keluar berkaitan dengan masalah rokok ini. Itu kalau ada yang mau... Kalau ada yang setuju dengan mimpi saya...

Jumat, 03 Desember 2010

Popularitas, Pentingkah?

Akhir-akhir ini sering kita jumpai orang-orang tergiur dengan sesuatu yang bernama popularitas. Lihat saja, di televisi misalnya, muncul berbagai tayangan, program, acara, yang menonjolkan sisi popularitas. Mulai ajang pencarian bakat, jodoh, reality show, dan sebagainya. Alih-alih bertujuan untuk menunjukkan kemampuan / kelebihan seseorang yang sebenarnya, acara-acara seperti ini disinyalir hanya bertujuan untuk mengekspos diri ke khalayak ramai.


Segmennya pun bermacam-macam. Bukan hanya untuk anak kecil atau anak muda saja, namun sampai kehidupan rumah tangga, rahasia pribadi pun dikorek-korek, diobrak-abrik. Sebuah contoh sebuah program dimana pembawa acaranya menghipnotis “mangsa”nya. Sang ‘mangsa” ini lalu dikorek-korek rahasia pribadinya. Disaksikan di depan umum lagi!! Pun demikian, ketika diberi kesempatan untuk menayangkan atau tidak menayangkan rekaman yang memuat aib dirinya, sang “mangsa” ini tidak keberatan. Padahal ia tahu, acara ini nantinya akan disaksikan jutaan mata!!


Lagi, dimana kehidupan rumah tangga dibongkar habis. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dipaparkan secara blak-blakan di depan kamera. Benar atau tidak, nyata atau sekedar drama, tetap saja jutaan mata menyaksikannya, meng-image-kannya. Atau, tentang ajang pencarian bakat. Ribuan orang mendaftar. Padahal banyak diantara mereka yang jelas-jelas tidak punya kemampuan di bidang itu. Lalu apa yang dicari? Sebagian mengatakan, itu adalah jalan pintas untuk menjadi populer!


Tampaknya kepopuleran memang sedang digandrungi banyak orang dewasa ini. Tidak hanya mereka-mereka yang baru belajar mengenal kehidupan, atau para selebritis yang sengaja mencari sensasi agar mereka semakin banyak order, tetapi juga orang-orang yang sudah banyak mengenal merah hitam kehidupan. Orang-orang tua, tokoh-tokoh, cendekia, bahkan para pejabat maupun penjahat!


Tak bisa dipungkiri, dikenal oleh banyak orang memang sesuatu yang menyenangkan. Itu sudah fitrah kita sebagai manusia. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah, apakah cara agar kita dikenal itu sudah benar? Apakah dikenal oleh banyak orang itu menjadi sebuah jembatan, ataukah tujuan? Apakah kita dikenal oleh orang banyak itu karena hal-hal yang kita lakukan adalah hal-hal yang baik? Atau apa?


Well, apapun itu, mestinya yang kita dahulukan adalah nilai perbuatan kita. Bahwa kita melakukan hal-hal yang benar, baik, memenuhi tugas dan tanggung jawab kita, menunaikan amanah yang dibebankan kepada kita, ikhlas, memanfaatkan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada kita untuk hal-hal yang mulia. Jika itu sudah kita lakukan, populer atau tidak populer, bukanlah lagi menjadi fokus kita. Bagaimana?

Hukuman Mati Bagi Sang Sufi

Al Hallaj. Jika Anda pernah membaca kisah-kisah tentang sufi, nama ini pasti tak akan terlewatkan. Ia adalah salah seorang sufi besar sekaligus kontroversial. Jika di Indonesia, mungkin kita bisa menyandingkan sisi kontroversialnya dengan Syeikh Siti Jenar. Yang membuat mereka sama kontroversialnya adalah pndangan mereka tentang Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawula Gusti – Jawa). Yaitu pandangan yang mengatakan bahwa makhluk – manusia – bisa menyatu dengan Penciptanya.


Dasar pandangan mereka diantaranya adalah ayat Al Qur’an yang mengatakan “…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (QS. Al Anfaal : 17). Selain itu mereka juga berpegang pada Hadits Qudsi yang berbunyi HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pandangan yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dunia sufi memang penuh misteri. Perkataan Al Hallaj yang terkenal, yang kemudian menjadikannya dihukum pancung yaitu “Ana Al Haq” (Akulah Sang Kebenaran), telah menjadikan banyak orang justru tertarik untuk mendalami dunia sufi. Seperti apa sebenarnya kehidupan seorang sufi itu?


Sikap berlaku sufistik, mendalami tasawuf, sebenarnya berawal dari sikap yang mulia, yaitu zuhud. Sikap ini juga diambil oleh Rasulullah dan para sahabatnya seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Darda’, Salman Al Farisi, Abu Dzar, dan sebagainya. Sikap zuhud adalah sikap yang berhati-hati terhadap kehidupan dunia, menjaga hati agar tidak terpedaya oleh kehidupan dunia yang menyilaukan, menjauhkan diri dari keterikatan terhadap dunia walaupun tanpa meninggalkannya seratus persen.


Namun sayangnya, sikap ini kemudian seringkali disalah-terapkan. Seorang sufi kemudian akhirnya tidak perduli terhadap kehidupan dunia, tidak perduli dengan lingkungan sekitarnya, berlebih-lebihan dalam upaya membersihkan diri dan menyucikan jiwanya. Sehingga yang mereka kejar adalah kenikmatan diri sendiri untuk berjumpa dengan Tuhannya, tanpa perduli orang lain. Mereka seringkali mendahulukan egonya sendiri, walaupun tidak semuanya demikian. Mereka kerapkali juga bertingkah aneh, berucap yang tidak masuk akal, seperti yang dilakukan oleh Al Hallaj.


Al Junaid, seorang sufi yang juga pernah menjadi guru Al Hallaj, mengatakan bahwa Al Hallaj memang pantas untuk dihukum, karena ia belum mampu melepaskan ego dirinya. Oleh karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan. Ia tidak layak mengungkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan “Aku” adalah “Aku” itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen itu masih ada, maka ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya (Abu Sangkan – Berguru Kepada Allah).

Konon, Al Hallaj mengatakan “Ana al Haq” dalam keadaan ekstase. Ekstase adalah suatu keadaan dimana otak mengalami zero mind/no mind. Dalam kondisi ini otak cenderung rileks tapi waspada. Tak jarang, orang yang mengalami kondisi ini merasakan dirinya tidak ada atau hilang. Kondisi ini dapat terjadi ketika seseorang memusatkan pikirannya pada satu titik, yaitu Tuhan. Kedekatan seseorang kepada Tuhannya, kerinduan terhadap-Nya, kecintaan kepada-Nya, bisa menyebabkan orang kehilangan kesadaran dirinya sendiri.


Pun demikian, perkataan Al Junaid memang benar. Katakanlah Al Hallaj memang merasakan kedekatan yang luar biasa kepada Allah, mampu melihat tirai-tirai keghaiban, ia tetap tidak punya hak untuk mengungkapkan itu semua lewat lesannya yang terbatas. Bagaimana mungkin kita mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas dengan sesuatu yang terbatas?


Seorang ulama pernah ditanya, “manakah yang lebih mulia, Al Hallaj yang mengatakan Aku adalah Sang Kebenaran ataukah Muhammad yang mengatakan Aku adalah hamba dan Rasul-Mu?” Jawabannya adalah lebih mulia Muhammad yang mengatakan Aku adalah hamba dan Rasul-Mu. Tidak diragukan lagi, Nabi Muhammad adalah orang yang paling zuhud dan paling mulia. Beliau juga paling dekat dengan Allah. Pun demikian, ketika mengetahui ada diantara sahabatnya yang menjalani laku zuhud yang berlebihan, beliau bersabda “Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah. Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku."


Lebih lanjut, ketika berbicara tentang pengetahuan (ghaib) yang beliau ketahui, Nabi bersabda “Jika kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. Dan cukup dengan ucapan ini, telah membuat para sahabatnya menangis terisak-isak. Apa artinya? Rasulullah mengetahui banyak hal ghaib yang ditunjukkan Allah kepada beliau. Tetapi itu tidak membuat beliau lalai, lupa, sehingga mengungkapkan sesuatu yang tidak akan bisa diungkapkan lewat diri manusia yang terbatas. Beliau bisa menahan diri. Beliau bisa menjaga etika kepada Allah. Sehingga yang beliau ucapkan cukuplah sebuah perumpamaan, yang ini bisa ditangkap oleh para sahabat, dan membuat mereka merasa terharu.


Inilah kiranya, mengapa Al Hallaj, sang sufi besar, harus mendapatkan hukuman mati. Demikian pula dengan Syeikh Siti Jenar. Mereka “tidak tahan” untuk mengungkapkan rahasia yang dititipkan Allah kepada mereka. Mereka tidak mampu melawan ego mereka. Mereka tidak mampu menjaga etika kepada Sang Pemberi Amanah.

Rabu, 24 November 2010

Racun Yang Tersamar

Anda pernah menjumpai orang yang keracunan? Bagaimana kondisi orang yang keracunan? Bagaimana seseorang bisa keracunan? Uraian berikut ini memang akan membahas mengenai keracunan. Tapi racun yang akan kita bahas disini bukanlah racun dalam bentuk fisik yang bisa termakan, terhirup, atau menempel di kulit kita. Racun yang kita bahas adalah racun yang tersamar. Bagaimana racun bisa tersamarkan?

Racun yang tersamar adalah racun yang berada dalam hati. Racun itu disebut dendam. Mengapa dendam saya sebut sebagai racun yang tersamar?

Kembali pada pertanyaan awal saya, bagimana kondisi orang yang keracunan? Orang keracunan kondisi fisiknya akan menurun. Ia akan menjadi lemah, gelisah, pusing, mual, muntah, mulut mengeluarkan busa, pingsan, hingga sampai kepada kematian. Demikian pula racun dalam hati yang disebut dendam tersebut. Orang yang terbakar dendam hidupnya akan gelisah, lemah akal, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata yang buruk / menyakitkan, tidak menyadari fungsi keberadaan dirinya, sampai pada bekunya hati.

Saya pernah mengalami dendam itu. Betapa menyiksanya. Dan saya mulai menyadari betapa banyak energi saya terbuang untuk mengurusi hal yang mematikan hati saya tersebut.

Orang yang dendam menyimpan bara dalam hatinya. Bara itu adalah kebencian. Secara lahiriah mungkin ia terlihat baik-baik saja, bahkan kepada orang yang didendamnya. Tapi hatinya senantiasa membara. Itulah mengapa saya sebut tersamar. Karena mungkin tak ada orang yang tahu bahwa ia sedang mendendam kepada seseorang. Namun demikian energi negatif yang tersimpan dalam dendam sungguh sangat besar. Jika api telah tersulut, bara itu akan mengobar. Energi negatif akan memancar, meledak dengan luar biasa. Yang bahkan dapat membakar atau menghancurkan orang-orang disekitarnya, sekalipun mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan dendam itu.

Saya menjumpai orang-orang semacam ini di sekitar saya. Dan umumnya, dendam itu muncul karena sebuah kesalahan yang tak disengaja. Artinya, seseorang secara tak sengaja melukai perasaannya, harga dirinya, jiwanya. Orang yang menyimpan dendam umumnya juga orang yang over sensitive terhadap keadaan sekitarnya. Mereka menanggapi segala sesuatu dengan serius. Peristiwa sekecil apapun yang terjadi di sekitarnya bisa menimbulkan kesan yang mendalam bagi dirinya. Sayangnya, tak jarang pula mereka-mereka ini adalah jenis orang yang hidup dalam alam yang penuh kasih sayang. Ini pula yang mungkin membentuk mereka menjadi seorang yang begitu sensitif, sekaligus mudah terpancing untuk menjadi seorang pendendam.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar tidak terbakar dalam dendam? Meminjam istilah ekonomi, kita hendaknya menghitung “biaya-manfaat”nya. Artinya, ketika kita terbakar dendam, pada dasarnya kita telah mengeluarkan “biaya” yang sangat besar dalam diri kita. Biaya itu adalah pikiran, energi, daya juang, keikhlasan, kecerdasan, dan banyak lagi. Kita mengeluarkan “biaya” itu secara sia-sia. Kita tak akan mendapat apapun dari dendam itu. Kalaupun akhirnya kita berhasil membalas dendam, apakah itu menjadikan hidup kita lebih baik? Kalau dendam itu terjadi karena kita telah tersakiti, maka dengan membalas dendam bukankah itu berarti kita juga balas menyakiti? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang menyakiti kita? Bahkan kalau boleh saya bilang kita yang membalas dendam adalah orang yang lebih buruk dari orang yang menyakiti kita. Kok bisa?

Ya, karena orang yang menyakiti kita, yang membuat kita dendam, belum tentu menyadari bahwa ucapannya, tindakannya itu menyakiti kita. Artinya ia tidak sengaja menyakiti kita. Tetapi ketika kita membalas dendam, maka kita memang sengaja menyakitinya. Kesengajaan itulah yang menjadikan kita mengalami penurunan derajat kemanusiaan kita. Kalaupun orang tersebut memang sengaja menyakiti kita, hal itu tetap tidak menjadikan kita pantas untuk membalas dendam.

Kemudian kita juga harus memperhatikan manfaatnya. Apakah benar dendam itu bermanfaat bagi kita? Ataukah justru merugikan kita? Bila kita merasa tersakiti, bukankah jauh lebih baik jika kita mengatakannya, menyampaikannya langsung kepada orang yang menyakiti kita? Atau bisa pula melalui seorang perantara yang bisa dipercaya, untuk menyampaikan bahwa kita merasa tersakiti oleh tindakan atau ucapan seseorang. Rasanya, cara ini akan lebih jujur, terbuka, dan langsung menyentuh ke permasalahannya. Jika orang yang menyakiti kita lalu menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita, bukankah itu hal yang sangat baik. Dan selayaknya kita memaafkan serta menganggap permasalahannya selesai. Lalu bagaimana jika ia enggan meminta maaf, menganggap dirinya tak bersalah, atau ia terlalu arogan untuk meminta maaf?

Maka cobalah untuk memaafkannya. Kendati sulit, tapi cobalah. Bukankah dunia akan menjadi lebih indah ketika kebencian kita balas dengan cinta? Bukankah lebih mulia ketika luka kita balas dengan persahabatan? Disinilah letak ketinggian derajat kita, jika kita mau melakukannya. Atau jika kita lebih berkenan lagi, kita bisa mendekatinya dan meminta maaf terlebih dahulu. Mengapa kita yang justru harus minta maaf? Bukankah kita yang justru tersakiti? Cukuplah kiranya seperti yang dikatakan seorang sahabat saya, seseorang yang meminta maaf lebih dulu bukan berarti ia yang bersalah, tetapi sesungguhnya ia adalah orang yang lebih mulia.

Nama

Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan nama

Itu adalah salah satu ungkapan yang mungkin sering kita dengar ketika kita masih sekolah. Diantara “peninggalan” diatas, manakah yang lebih baik, gading, belang, ataukah nama? Ya, tentu saja peninggalan berupa “nama” adalah yang lebih baik. Mengapa demikian?

Gading atau belang adalah sebuah peninggalan fisik. Suatu saat ia akan hancur dan musnah. Tetapi “nama”, ia dapat hidup abadi sepanjang masa. Ia bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang membuat “nama” menjadi spesial adalah perbuatan yang dilakukan oleh si empunya nama ketika dia masih hidup. Lihat saja, dalam Islam jelas ada nama Rasulullah Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin dan sederet nama shahabat-shahabiyah menempati urutan teratas yang terpatri dalam ingatan kita. Di Indonesia, ada sejumlah nama yang selalu kita kenang, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan sebagainya.

Mereka terus dikenang bukan karena peninggalan fisik, melainkan karena perbuatan mereka. Kita senantiasa merasa mempunyai ikatan dengan mereka, baik berupa cinta, kekaguman, rasa terima kasih dan sebagainya.

Tak perlu jauh-jauh, saya pun mengenang sejumlah nama dalam kehidupan saya. Tidak selalu mereka sudah meninggal. Yang masih hidup pun juga tetap saya kenang dan saya hargai. Mereka meninggalkan sesuatu yang begitu berkesan bagi saya. Dan itu adalah teladan dan nasihat.

Ada diantara sahabat saya yang mengenalkan saya kepada Islam secara lebih jauh, mengajarkan ketekunan dan keistiqomahan. Ada yang mengajarkan kepada saya shalat secara berjamaah di masjid, sehingga saya senantiasa rindu menanti waktu jamaah shalat. Ada yang mengajarkan kepada saya tentang keberanian dalam hidup, atau bahkan menundukkan diri sendiri. Dan banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam hidup saya. Mereka manusia biasa, sering salah dan lupa. Saya kadang-kadang juga tetap merasa jengkel kepada mereka. Tetapi itu tidak membuat penghormatan saya kepada mereka, kenangan saya kepada mereka, menjadi berkurang. “Nama-nama” itu akan selalu saya kenang. Nama-nama itu akan tetap menjadi sesuatu yang bercahaya dalam kehidupan saya.

Sabtu, 20 November 2010

Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 1)

Benarkah Khilafah?

Ada sebuah buku yang cukup menarik bagi saya. Judulnya “Kebenaran Yang Hilang”, ditulis oleh Farag Fouda, seorang aktivis dan peneliti Mesir. Buku ini membahas mengenai khilafah Islam. Berbagai pertanyaan diajukan, berbagai “fakta sejarah” tentang khilafah diungkapkan dalam buku ini. Saya memberi tanda kutip pada kata “fakta sejarah”, karena banyak kalangan menilai bahwa “fakta-fakta” yang disajikan dalam buku ini adalah cerita bohong, lemah, atau tidak dapat dipercaya.

Sebuah contoh yang sering diungkapkan untuk membantah kebohongan “fakta” itu adalah mengenai kematian Utsman ra. Dalam buku ini Fouda mengatakan bahwa pembunuhan atas Utsman ra. telah direncanakan. Bahkan oleh para sahabat-sahabat Nabi yang mulia. Hingga peludahan jenazah Utsman, keengganan umat Islam saat itu untuk menyalatkan Utsman, pematahan persendian jenazah Utsman, dan seterusnya. Fouda mengaku bahwa ia memperoleh “fakta” itu dari kitab-kitab utama umat Islam, seperti karya At Thabari dan Ibn Saad. Namun hal ini segera dibantah oleh banyak kalangan, yang menunjukkan bahwa baik At Thabari maupun Ibn Saad mempunyai banyak riwayat berkaitan dengan peristiwa itu. Dan Fouda mengambil riwayat yang lemah sebagai sumber “fakta” nya. Itu adalah salah satu contoh isi dari buku Kebenaran Yang Hilang. Yang jelas buku ini sangat kontroversial bagi banyak kalangan. Dan justru karena itulah rasanya pantas kita menelaah kembali pemikiran Fouda. Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua pemikiran Fouda dalam bukunya tersebut. Namun akan mengambil beberapa poin yang bagi saya masih menjadi tanda tanya.

Sebuah pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak saya ketika membahas mengenai Khilafah Islam adalah, benarkah Islam telah menerapkan sistem kekhalifahan? Atau, jika memang sudah, benarkah masa kekhalifahan Islam terbentang sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga berakhirnya Kekhalifahan Utsmaniyah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama mestilah kita pahami dulu tentang pengertian sistem kekhalifahan. Menurut Syeikh Abdul Qadim Zallum, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.

Untuk menjadi seorang khalifah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Menurut Imam Abu Zakariya Muhyidin Yahya bin Syaraf An Nawawi ada sebelas syarat yang harus dipenuhi, yaitu ; Muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, berasal dari suku Qurays, mujtahid, pemberani, tajam pemikirannya, tidak tuli, tidak buta, dan tidak bisu. Sedangkan menurut Syeikh Abdul Qadim Zallum syarat-syarat menjadi seorang khalifah ada tujuh, dan ini disebut sebagai Syarat in’iqad. Syarat tersebut adalah Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanat khalifah. Jika kita lihat dari tujuh syarat yang diajukan Syeikh Abdul Qadim Zallum, yang ternyata begitu umum, bisa dikatakan bahwa siapapun dapat menjadi khalifah, dengan syarat telah dibai’at uleh umat. Berbeda dengan Imam An Nawawi, Syeikh Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa seorang khalifah tidak harus seorang mujtahid, pemberani, keturunan Quraisy, tajam pemikirannya.

Tentang keturunan Quraisy misalnya. Kepemimpinan harus di tangan Quraisy disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari, Muslim, dan lain-lain, yang berbunyi “Para Imam itu dari suku Quraisy” dan “Urusan (kekuasaan) ini senantiasa di tangan suku Quraisy selama masih ada dua orang diantara mereka yang masih hidup”. Disini Fouda membantahnya dengan mengatakan bahwa persyaratan ini (Quraisy) adalah sesuatu yang “aneh”. Lebih lanjut Fouda mengatakan bahwa “syarat ini sengaja diletakkan untuk menjustifikasi kepemimpinan kaum Umayyah dan Abbasiyah”. Dari pernyataan ini Fouda jelas-jelas meremehkan hadits nabi. Bahkan yang shahih sekalipun! (Inilah yang membuat banyak kalangan menjadi marah)

Sementara itu Syeikh Abdul Qadim Zallum menengahi dengan menyatakan bahwa hadits-hadits tentang kepemimpinan Quraisy ini merupakan hadits-hadits yang berbentuk ikhbar (informasi), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Bentuk ikhbar (informasi) walaupun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti selama tidak dibarengi dengan suatu qorinah (indikasi) yang menunjukkan penegasan. Hadits-hadit tersebut tidak menunjukkan qorinah, sehingga dapat dikatakan bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan perintah sunnah, bukan wajib. Meskipun kekuasaan selalu berada di tangan orang Quraisy, namun tidak berarti orang selain Quraisy dilarang menduduki kekuasaan.

Demikian pula dengan syarat bahwa seorang khalifah harus mujtahid, pemberani, ataupun politikus ulung. Syeikh Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa syarat ini hanyalah syarat afdhaliyah. Artinya, diusahakan memang seorang khalifah mempunyai sifat demikian. Akan tetapi hal ini tidaklah mutlak. Kalaupun tidak memiliki keutamaan-keutamaan tersebut, selama telah memenuhi syarat in’iqad, maka ia dapat menjadi khalifah.

Seperti yang saya sebutkan di atas, seseorang sah menjadi seorang khalifah manakala ia telah dibaiat oleh umat Muslim. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah, jika seorang khalifah memang harus dipilih oleh umat, dibai’at oleh umat Islam, bagaimana jika ada umat Islam yang tidak puas atas pemba’iatan tersebut? Kalau kita merunut pada sejarah Islam, bagaimana dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib k.w? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Khalifah Hasan Al Askari oleh Yazid bin Muawiyah, yang kemudian menahbiskan dirinya sebagai Khalifah? Bagaimana dengan kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, yang notabene kekhalifahan berdasarkan keturunan, dan disertai dengan pertumpahan darah yang luar biasa pada umat muslim?

Pertanyaan-pertanyaan itulah diantaranya yang diajukan oleh Fouda dalam buku ini lewat pemaparan “fakta-fakta sejarah” yang mungkin jarang kita ketahui. Termasuk mengenai semua penyimpangan, kehidupan hedonis para khalifah, penghalalan khamr, foya-foya, penyimpangan seksual, penghalalan musik-musik dan tarian-tarian erotis, pertumpahan darah terhadap sesama muslim, yang jika memang itu benar, maka patutlah menjadi bahan renungan kita kembali. Atau katakanlah bahwa semua yang dikatakan Fouda adalah sekedar bualan belaka, tetap saja kita layak untuk berpikir. Bahwa Muawiyah ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Saw. Bahwa Ali bin Abi Thalib kw. adalah salah seorang kerabat Nabi yang paling dicintainya, pintu ilmu, salah seorang ulama diantara sahabat Nabi. Mengapa kedua orang shaleh ini harus bertikai? Atau tentang Ummul Mukminin Aisyah ra. Beliau adalah salah seorang istri Nabi yang paling dicintai Nabi, dalam ilmunya, cerdas, menjadi rujukan umat muslim. Mengapa harus terlibat peperangan melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib? Jika memang semua berpegang pada keshalehan itu, tentu semua perbedaan akan diselesaikan dengan cara yang indah.

Kemudian tentang kekhalifahan Umayyah, Abasiyah, dan kekhalifahan seterus-seterusnya. Kekuasaan kekhalifahan berpindah dari seorang khalifah kepada putranya, kepada saudaranya, kepada menantunya, dan begitu seterusnya. Benarkah kekhalifahan seperti itu? Walaupun dibai’at! Tetapi jika yang membai’at adalah keluarganya sendiri, pengikutnya sendiri, tidak melibatkan suara umat Islam lainnya. Sekali lagi, benarkah khilafah? Seolah-olah hanya berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri, dari tangan kiri ke tangan kanan, dan seterusnya. Semua ini adalah tentang POLITIK dan KEKUASAAN. Dan jika berbicara tentang dua hal tersebut, mulai masa kapan pun dan sampai kapan pun akan selalu terjadi penyimpangan. Lalu, jika demikian, bolehkah saya mengatakan, bahwa Kekhalifahan Islam yang sebenarnya hanyalah terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin? Sedangkan yang lainnya adalah sistem kerajaan yang terbungkus oleh istilah kekhalifahan, yang terkaburkan oleh pembai’atan semu?

Pada akhirnya yang terjadi adalah seperti yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid dalam komentarnya yang dimuat di majalah Tempo, yaitu bahwa sejarah tidak pernah suci/sakral. Bahwa kita berusaha mewujudkan sesuatu yang ideal, itu IYA. Bahwa kemungkinan besar keadaan ideal itu tak pernah terjadi, itu juga IYA. Sejarah manusia tak akan pernah lepas dari kekhilafan dan penyimpangan. Para Nabi dan Rasul pun pernah dikoreksi oleh Allah, meskipun tidak berarti bahwa mereka telah berbuat dosa. Akan tetapi, sesuai fitrah kemanusiaannya mereka tetap memiliki kelemahan. Atau bisa dikatakan, sempurna tetapi tidak sempurna.

Namun ada satu hal lagi yang menggelitik pikiran saya ketika membaca pemikiran Fouda ini. Rasanya sungguh mengherankan untuk orang ukuran Fouda, seorang berpendidikan tinggi, aktivis, peneliti, pembicara di berbagai kajian ilmiah, yang beranggapan bahwa ketika umat Islam menghendaki tegaknya kembali sistem khilafah, maka itu termasuk pula segala penyimpangan yang terjadi. Ini adalah argumen utama Fouda tentang alasannya menolak sistem khilafah. Bahwa khilafah mengandung banyak penyimpangan dan kesalahan. Setiap orang yang mau berpikir sedikit saja, rasanya akan sepakat bahwa jika seseorang menghendaki sesuatu yang ideal, tentu itu adalah sesuatu yang sebaik mungkin, sesempurna mungkin. Tanpa kesalahan, cacat, atau penyimpangan. Sama seperti Islam itu sendiri. Islam itu sempurna. Islam itu ideal. Bahwa umat Islam masih terbelakang, miskin, bodoh, tidak lantas menjadikan Islam cacat. Yang cacat adalah umatnya, bukan agamanya. Ini yang secara konyol dilupakan oleh Fouda.

Sebagai penutup diskusi ini, sebuah catatan menarik yang ditulis oleh Fouda adalah bahwa periode Islam selesai/berakhir seiring dengan wafatnya Rasulullah Saw. Periode selanjutnya adalah periode Umat Islam. Apa artinya? Islam diterapkan secara murni, kaffah, hanya terjadi pada periode dimana Rasulullah masih berada di tengah-tengah umat. Karena setiap ada penyimpangan maka Allah akan langsung mengoreksi melalui Rasul-Nya. Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, maka aturan kehidupan selanjutnya mengalami penafsiran berbeda-beda. Cara-cara penerapan Islam secara rigid, persis seperti ketika Rasulullah masih hidup tidak lagi relevan/tepat diterapkan di masa-masa setelahnya, yang notabene dinamika kehidupan yang terjadi lebih kompleks. Ini juga berarti bahwa kemungkinan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Islam sangat ada. Dan itulah mengapa sejarah umat Islam pun tidak suci (terbebas dari penyimpangan). Karena umat Muslim tidak sesempurna Islam itu sendiri. Karena manusia membawa predikat sebagai makhluk yang senantiasa salah dan lupa.

Satu lagi, apa yang saya tulis disini bukan merupakan upaya untuk meragukan kapasitas para sahabat, mempertanyakan kesalehan para sahabat, menolak Periode Emas Kekhilafahan Islam, tetapi hanya sebagai sebuah diskusi. Bahwa kita harus menjaga keyakinan kita tentang Islam itu iya. Dan justru karena itulah kita berusaha mendudukkan persoalan secara berimbang. Tidak berpikir secara dogmatis-literer, ataupun liberalis-sekuler. Tapi kita berusaha menemukan persamaan di antara perbedaan yang ada, untuk menemukan kebenaran sejati. Untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.


Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 1) selesai...

Kamis, 04 November 2010

Bahasa Yang Terlupakan

Saya tak bermaksud membicarakan mengenai bahasa-bahasa kuno dengan tulisan-tulisan pakunya disini. Bahasa yang saya maksud disini adalah bahasa daerah kita, bahasa tempat kita dilahirkan, bahasa yang mengalir dalam ikatan darah kita, bahasa yang membentuk bahasa nasional kita, bahasa yang membesarkan kita.

Di berbagai tempat, di banyak kesempatan, saya melihat orang tua-orang tua mengajak berbicara anaknya yang masih kecil, mengajari mereka ngomong, dengan bahasa Indonesia. Mereka bangga sekali ketika anak-anaknya, walaupun dengan tertatih-tatih, mampu melafalkan kata-kata, merangkai huruf-huruf pada lisan mereka, kata-kata yang berbahasa Indonesia. Tak hanya di kota, di desa pun juga demikian. Apakah hal ini salah? Apakah mengajari anaknya, membiasakan anaknya berbicara dengan bahasa nasionalnya itu salah?

Tentu tidak. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja yang kemudian menjadi pertanyaan saya adalah, apakah mereka juga mengajarkan bahasa daerahnya, sukunya, klannya, kepada anak-anak mereka? Saya tidak bermaksud mengajak bersikap chauvinisme. Sama sekali tidak. Akan tetapi disadari atau tidak, diakui atau tidak, pengenalan dan pembiasaan berbahasa Indonesia saja tanpa disertai dengan pengenalan dan pembiasaan berbahasa daerah telah menyebabkan bahasa daerah semakin hilang. Coba perhatikan, berapa banyak anak Indonesia generasi saat ini yang masih bisa berbahasa daerah dengan fasih, luwes, dengan segala macam aturan bahasanya? Bandingkan dengan jumlah anak Indonesia generasi saat ini yang fasih berbahasa Indonesia? Bisa jadi, 10-30 tahun lagi bahasa daerah kita benar-benar lenyap dari bumi Indonesia ini!

Satu hal lagi, bahasa daerah memiliki berbagai aturan dan tingkatan. Misal bahasa Jawa. Dalam bahasa percakapan, untuk bicara dengan orang yang lebih muda atau kalangan biasa, atau untuk pergaulan, kita bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa biasa, tanpa penghormatan). Untuk bicara dengan orang yang seusia atau di atas kita sedikit, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Madya (bahasa dengan penghormatan secukupnya/pertengahan). Dan untuk orang yang lebih tua, atau yang kita hormati, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil (bahasa halus, penuh penghormatan).

Dalam bahasa Indonesia memang kita jumpai juga pembedaan penggunaan bahasa ini, bagaimana bahasa tulis, lesan, penghormatan dan seterusnya. Akan tetapi “nilai rasa”nya tidak sebesar dengan menggunakan bahasa daerah. Kalau dalam bahasa iklan, “taste” nya beda. Itulah sebabnya, banyak kata dalam bahasa Indonesia mengadopsi dari bahasa daerah.

Saya jadi berpikir, mungkin itu pula salah satu sebabnya, anak-anak sekarang cenderung kurang menghormati orang tua. Berbicara seenaknya, tidak kenal sopan santun, cuek, bandel, dan seterusnya. Bisa dikatakan, orang tua ikut bertanggung jawab (walaupun bukan mutlak) atas sikap anak-anak sekarang. Mereka tidak membiasakan anak-anaknya bertingkah laku yang semestinya, yang salah satu pintunya adalah melalui bahasa daerah, sehingga sang anak merasa menjadi “terlalu biasa” kepada orang tuanya. “Terlalu biasa” artinya mereka tidak memposisikan orang tuanya dalam posisi yang lebih atas, patut dihormati, patut diteladani. Mereka menganggapnya setara dengan mereka, sehingga mereka merasa tak perlu lah menghormat segala.

Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berpikir ulang, sudah benarkah pola asuh kita kepada anak-anak sekarang. Dan ini dimulai dari bahasa. Jika sekarang orang tua terlalu bangga ketika anaknya bisa berbahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, mungkin suatu saat nanti (dan ini mungkin tak lama lagi), orang tua akan bangga manakala anaknya fasih berbahasa Inggris. Dan ketika saat itu tiba, mungkin kita juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada bahasa Indonesia. Relakah Anda?