Sabtu, 29 Januari 2011

Waktu

Entahlah. Rasanya baru kemarin saya menikmati akhir pekan. Dan hari ini sudah akhir pekan lagi. Waktu rasanya benar-benar begitu cepat berlalu. Detik demi detik. Menit demi menit. Jam berganti jam. Hari, minggu, bulan tahun. Semuanya begitu cepat.

Mungkin karena kesibukan kerja lah yang membuat saya merasa seperti itu. Pagi, saya berangkat pukul 6. Pulang sampai rumah seringkali sekitar pukul 4 sore, meskipun seharusnya saya sudah bisa pulang pukul 2, dan sampai rumah pukul 3. Perjalanan dari rumah ke kantor memakan waktu 1 jam. Tapi bila pekerjaan memang masih menumpuk, rasanya begitu sayang jika tidak segera saya selesaikan. Jangan dibayangkan kalau saya pulang telat berarti saya akan dapat uang lembur. Di tempat saya bekerja tidak demikian. Terutama karena saya termasuk orang manajemen. Artinya, selama sebuah pekerjaan itu masih menjadi tanggungjawab saya, maka jam berapapun saya pulang tidak akan dapat uang lembur.

Saya tidak mengeluh karena itu. Mungkin karena sudah terbiasa. Mungkin karena sejak awal saya sudah tahu hal itu. Mungkin karena niat saya sejak awal bekerja di tempat kerja saya itu adalah untuk ikut membantu, mengawal agar instansi saya tersebut bisa tumbuh menjadi besar. Saya berharap ini adalah hal yang baik. Saya berharap perasaan itu, pikiran semacam itu terus ada dalam diri saya.

Tapi yang terpenting dari hal ini adalah ketika tiba-tiba datang pertanyaan dalam diri saya ; sudahkah saya mengisi waktu saya dengan kegiatan-kegiatan yang berguna?

Waktu begitu cepat berlalu. Umur menjadi semakin pendek. Semakin dekat pula saat kita untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Akankah kita kelak bertemu dengan-Nya sambil tersenyum? Ataukah kita datang dengan rasa takut yang luar biasa, yang tak pernah kita rasakan sekalipun di dunia ini?

Kita tak pernah tahu. Kita tak pernah bisa menerka jalan hidup kita. Kita tak bisa mengira-ngira seperti apa akhir hidup kita. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengisi waktu kita dengan kegiatan yang baik, bermanfaat bagi kita ataupun orang lain. Lalu biarkan Dia yang akan menuntun kita. Semoga kita selalu mendapat petunjuk-Nya.

Drama

Membaca Novel Angel & Demons karya Dan Brown membuat saya menyadari sesuatu. Drama. Ya. Betapa banyak drama dalam kehidupan kita. Dengan akhir yang bahagia, klise, atau pun penuh tanda tanya.

Angel & Demons menceritakan salah satu drama yang paling memilukan menurut saya. Mengapa? Karena drama itu tercipta dari sebuah misi. Yang konon misi itu adalah ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Demi mendekatkan diri kepada Tuhan, demi sebuah cita-cita agar umat kembali kepada Tuhannya, seorang pastor rela menciptakan sebuah bencana. Yang di dalamnya terdiri dari berbagai peristiwa, pilu, mengorbankan banyak nyawa.

Ironi rasanya. Tujuan mulia harus dilalui dengan cara yang sadis. Inilah sebabnya saya mengatakan bahwa drama yang terjadi dalam Angel & Demons adalah salah satu drama yang paling memilukan.

Namun demikian, drama ini membuka mata saya, bahwa betapa dekat cerita itu dengan realita kehidupan kita, atau realitas berbagai peristiwa di dunia sejak dulu. Salah satu drama mengerikan yang belum terlalu lama terjadi adalah tragedi 9/11. Berbagai analisis dan pengamatan menyebutkan bahwa 9/11 adalah sebuah skenario yang dirancang Yahudi untuk memojokkan Islam. Seolah-olah Islam lah yang melakukan terorisme itu. Seolah-olah Islam adalah agama yang merusak. Ajaran yang berisi permusuhan, kebencian dan sebagainya.

Dan ternyata skenario ini cukup berhasil. Di seluruh penjuru dunia, orang Islam dimusuhi (terutama Islam yang minoritas). Mereka dibenci, diserang, diperlakukan tidak adil, dilecehkan, seolah-olah menjadi Muslim adalah sama dengan menjadi seorang penjahat, seorang yang hina.

Namun semua tindakan permusuhan terhadap Islam tersebut tidak dibalas oleh masyarakat Muslim. Memang ada sejumlah tindakan radikal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim tertentu untuk membalas perlakuan tidak adil yang mereka terima. Namun hal ini segera dimentahkan oleh Muslim lainnya. Bahwa tindakan perusakan, radikalisme, yang dilakukan sejumlah kelompok Islam garis keras itu bukanlah cerminan sikap seorang Muslim. Bahwa Muslim sejati tidak akan melakukan kekerasan. Apalagi terhadap orang yang tak berdosa. Bahkan kepada masyarakat yang jelas-jelas berbuat zalim. Lihat saja contoh Nabi SAW ketika beliau diludahi, dimusuhi, dilempari batu oleh masyarakatnya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, maafkanlah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”

Yang kemudian terjadi adalah masyarakat dunia menjadi bertanya-tanya, sebenarnya seperti apa sih sesungguhnya Islam itu? Lalu berbondong-bondonglah orang mempelajari Islam. Lalu berduyun-duyunlah orang masuk Islam. Muslim-muslim baru ini ternyata akhirnya menjadi orang-orang yang paling perduli, paling membela Islam ketika Islam diserang. Subhanallah. Hal ini yang (mungkin) tidak diprediksi dalam skenario Yahudi untuk menghancurkan Islam.

Jauh sebelumnya, pendirian Negara Israel juga merupakan sebuah drama. Konon, bertahun-tahun skenario itu dibangun. Mulai pemilihan lokasi, strategi, waktu, sarana dan seterusnya. Lalu mulailah orang-orang Israel membeli tanah di tepi-tepi negeri Palestina dan sekitarnya. Lalu mulailah mereka mengisolasi warga Palestina di dalamnya. Lalu mulailah senjata-senjata didatangkan. Lalu mulailah invasi itu. Lalu mulailah segala kekacauan di Palestina yang tak juga berhenti sampai detik ini.

Holocoust juga sebuah drama. Pembunuhan JF. Kennedy juga drama. Pengucilan Iran dan Korea atas proyek nuklirnya juga drama. Westernisasi di berbagai Negara di dunia juga drama. Berlian darah di Afrika juga drama. Rendahnya moralitas masyarakat Barat juga drama. Munculnya berbagai sekte sesat di seluruh dunia juga drama. Reformasi di Indonesia juga drama. Dan masih banyak lagi drama-drama di dunia.

Banyak diantara drama-drama itu ditulis dan disutradarai oleh Yahudi. Ini yang saya acungi jempol. Dalam arti, betapa mereka memang orang-orang jenius di dunia ini. Sayangnya kejeniusan mereka ini tak lebih digunakan untuk membuat kerusakan dan kekacauan di dunia. Tapi kita tak perlu khawatir. karena bagaimanapun sempurnanya sebuah skenario yang disusun oleh manusia, selama itu digunakan untuk kejahatan / keburukan, suatu saat Allah pasti akan menghancurkannya. Dalam Al Qur'an juga disebutkan bahwa mereka (Yahudi) akan mengalami kemenangan dan berakhir dengan kekalahan mereka. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, jika selanjutnya adalah giliran kita (Muslim) untuk mengemban amanah memerintah bumi ini, apakah kita telah siap untuk memerintah dunia dengan keadilan, sebagaimana yang telah dijalankan oleh Nabi Saw dan Khulafaur Rasyidin?

Sabtu, 22 Januari 2011

Kabut

Orang-orang berkerumun dan berteriak-teriak. Ada apa? Maling?
Sepertinya bukan.

Ada yang berlarian kesana kemari. Mengucapkan sesuatu. Minta tolong. Kebakaran?
Tampaknya juga bukan itu.

Lalu wanita-wanita menjerit. Anak-anak menangis. Ada apa sebenarnya? Bencana alam?
Aku tak yakin.

Perlahan. Aku lihat wajah orang-orang. Memandangku heran? Kok aneh. Bukankah seharusnya aku yang heran. Apa yang mereka lakukan?

Tapi sepertinya tatapan itu bukan heran. Tanda tanya? Apa ada bedanya tanda tanya dengan heran? Tanda tanya digunakan untuk sebuah klarifikasi, memperjelas sesuatu hal. Sedangkan heran adalah ekspresi dari sebuah kekaguman, keterkejutan atas sesuatu yang tak biasa atau tak lazim menurut pemikiran orang-orang atau seseorang.

Emm…rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas kosakata itu, kendati aku yakin aku bisa menjelaskannya lebih banyak.

Tapi yang aku yakin, orang-orang berlarian, berkerumun, memandang, di satu titik. Aku. Ada apa denganku? Apa aku orang aneh? Rasanya tidak. Yah, teman-temanku mengatakan aku agak terlalu bersolek beberapa hari ini. Tapi itu bukan hal yang jelek kan. Aku melihat di tv banyak lelaki yang bersolek. Dan itu tak menjadi masalah. Kenapa buatku jadi masalah? Toh, aku hanya menggunakan minyak rambut agar rambutku yang mulai memutih terlihat agak hitam dan klimis. Itupun tiga hari sekali…

Aku masih tak yakin orang-orang ini mendekatiku karena gaya bersolekku. Mungkin karena bawaanku yang terlampau banyak, dan mereka tak suka melihatku terlihat “sibuk”? Tunggu dulu, bawaanku ini berharga. Semuanya. Jangan-jangan mereka mau merampokku. Waduh! Coba kuingat-ingat. Beberapa hari yang lalu aku melihat film tentang bela diri di rumah temanku. Aku ingat beberapa gerakannya. Kukira aku bisa menggunakannya jika orang-orang ini mencoba mengambil bawaanku. Tapi mereka terlalu banyak. Apa aku bisa menghadapinya sendirian?

Tiba-tiba aku kok tidak tenang dengan semua pandangan mata orang-orang itu. Sepertinya mereka juga mengucapkan sesuatu. Tapi apa? Ah, apakah aku setuli itu. Tak bisa mendengar sedikitpun kata-kata mereka. Padahal tadinya bisa lo!

Pandangan mataku juga agak kabur. Sebentar jelas, sebentar hilang. Aku tadi memang sempat minum aspirin. Tapi itu dua jam yang lalu. Masak masih bereaksi sih?

Kok sepi ya. Aku merasa dingin. Jam berapa sekarang? Aku harus menjemput anakku. Aku mau melihat jam tanganku. Hei, aku mau melihat jam tanganku! Kenapa tanganku tak bisa digerakan? Kulirik sekilas ke tanganku. Tunggu dulu. Kenapa aku terbaring? Darah? Di tanganku? Bajuku? Kakiku? Dimana-mana? Tubuhku penuh darah? Ada apa? Motorku tergeletak begitu saja. Sekilas kulihat cukup berantakan.

Astaga!! Aku baru sadar. Aku tadi melihat truk. Di depanku. Aku sedang melintas. Aku tak bisa menghindar.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku yakin masih di sakuku. Ya. Coklat itu. Untuk anakku. Hanya sebulan sekali aku membelikannya. Aku tak punya uang. Tapi sebulan sekali sudah cukup untuk membuat anakku terlonjak-lonjak kegirangan. Aku menyeberang setelah membelikan coklat untuk anakku.

Ah, aku juga baru sadar. Ternyata orang-orang berteriak meminta bantuan medis untuk menolongku. Ternyata wanita-wanita menjerit, anak-anak menangis karena ngeri melihat keadaanku. Ternyata…

Aku tiba-tiba merasa pusing. Dingin sekali rasanya. Kabut mulai turun di pelupuk mataku. Maaf, nak. Sepertinya bapak tak bisa membawakan coklat untukmu kali ini….

Sabtu, 15 Januari 2011

Tentang Apa?

Pertanyaan itu seringkali muncul ketika saya hendak menulis sesuatu. Baik berupa essay, cerpen, puisi atau lainnya. Bingung. Mungkin hampir semua penulis pernah mengalami hal itu. Mungkin. Tapi seiring bertambahnya jam terbang, pertanyaan itu akan semakin jarang terpikirkan. Yang ada hanyalah “aliran pikiran”.

Ya. Apa yang ada di pikiran kita bisa kita tuang, kita alirkan begitu saja. Saya begitu terpesona dengan kata-kata ini ketika saya membaca tulisan Pak Hernowo – salah seorang pakar Quantum Writing Indonesia – yang membahas mengenai “Flow”. Mengalir, atau aliran pikiran.

Menulis dengan jalan mengalirkan, menumpahkan apa saja yang ada di dalam pikiran kita rasanya memang akan sangat nikmat. Menyegarkan! Kita tidak lagi terbebani dengan kata-kata yang harus kita rangkai. Kita tidak lagi harus dipusingkan mengenai tema. Kita tidak perlu dipusingkan mengenai bagaimana tanggapan orang lain atas tulisan kita. Terserah orang lain mau menilai seperti apa. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan tugas kita sebagai penulis. Menulis!

Tapi bagaimana seseorang bisa menuliskan apa yang ada di pikirannya? Apa memang semudah itu?

Awalnya mungkin memang tidak mudah. Apalagi bagi yang tidak pernah menulis. Mungkin akan terasa kaku, hambar, kosong. Atau tulisannya akan terlihat menyebalkan, membosankan, omong kosong, bikin ngantuk, dan seterusnya. Tapi itu sebuah awal yang bagus. Teruskan saja. Semakin sering kita menulis, semakin ahli pula kita mengungkapkan pikiran kita.

Setiap kita pasti juga pernah bertanya jawab dengan diri kita sendiri. Tentang tindakan yang harus kita ambil. Tentang benar salah. Tentang rasa marah atau sedih. Tentang kegalauan, dan seterusnya. Dialog dalam pikiran kita itu sebenarnya modal dasar bagi kita untuk menulis. Ya. Tulis saja semua tanya jawab itu. Tak perlu risau hasilnya tidak bagus. Masalah koreksi itu belakangan. Yang penting tulis saja dulu. Dan dari pengalaman saya, ternyata menuliskan apa-apa yang menjadi pertanyaan dalam diri kita justru membantu kita untuk menjawab pertanyaan itu sendiri.

Sebagian penulis yang sudah berpengalaman juga menyarankan untuk menulis segala sesuatu yang kita jumpai di sekitar kita. Mungkin kita menemukan hal menarik ketika di jalan, di rumah atau dimanapun. Tentang orang-orang yang kita jumpai. Tentang kendaraan. Tentang teknologi yang membutakan kita. Tentang waktu yang merenggut kita. Tentang cinta yang terabaikan. Tentang makanan kesukaan. Tentang peliharaan yang menyusahkan, dan apa saja. Semua bisa jadi bahan tulisan.

Yang pasti, usahakan ketika menulis, jadilah diri sendiri. Tak perlu lah kita menggunakan kata-kata yang muluk-muluk, yang puitis (kecuali kalau memang sastra ya), yang aneh-aneh, jika itu semua tidak menggambarkan diri kita, pikiran kita. Rasanya akan menjadi tidak jujur. Kejujuran dalam menulis itu penting, karena itulah yang menjadikan tulisan kita menjadi bernilai. Baik bagi diri kita sendiri maupun bagi siapapun yang membaca tulisan kita. Bagaimana, masih juga bertanya “tentang apa?”

(Bahasan di atas diinspirasi dari tulisan Pak Hernowo yang berjudul “Flow” dalam rubrik Plong di www.mizan.com, tanggalnya saya lupa)

Kamis, 13 Januari 2011

Pengemis dan Anaknya

Entahlah. Saya tiba-tiba merasa tidak terlalu percaya pada mereka. Seorang pengemis. Wanita paruh baya. Dan “anak”nya yang masih kecil dalam gendongannya. Atau dalam genggaman tangannya. Saya memberi tanda petik pada kata “anak” karena saya tidak terlalu percaya juga kalau itu benar-benar anaknya.

Berita-berita yang saya dengar, lihat, baca, membuat saya menjadi ragu dengan “kapasitas” mereka sebagai pengemis. Benarkah mereka memang pengemis? Benarkah mereka meminta-minta karena ketidakberdayaan mereka, kefakiran mereka, kemiskinan mereka? Atau itu hanya sebuah kamuflase? Sebuah perwujudan dari rasa malas mereka? Sebuah bentuk dari kejahiliyahan model baru?

Saya tidak nyaman dengan semua perasaan ini. Seakan-akan saya menuduh orang-orang yang lemah tersebut melakukan penipuan atau kejahatan. Tapi beberapa berita, liputan, reportase, memang menyebutkan demikian. Mengemis tak lagi melulu merupakan sebuah keterpaksaan Tak lagi wujud dari ketidakberdayaan. Melainkan sebuah profesi, pekerjaan yang “berprospek cerah”.

Konon, ada sebuah kampung di salah satu pulau di Indonesia yang semua warganya berprofesi sebagai pengemis. “Profesi” menunjukkan bahwa mereka melakukannya secara profesional (wow!!). Jangan dibayangkan bahwa rumah-rumah mereka berupa gubuk-gubuk reyot dari bambu, triplek, atau tambalan-tambalan kardus. Tidak. Rumah-rumah mereka bisa dibilang bagus. Dengan dinding semen, lantai keramik, cat yang menarik, dan halaman yang cukup untuk menaruh mobil dan sepeda motor.

Mereka tidak tampak sebagai orang yang tidak berpunya. Mereka tidak nampak seperti orang yang lemah tak berdaya. Mereka adalah orang-orang yang sehat jasmani dan rohaninya (?).

Fakta lain yang memperkuat ketidak-percayaan saya kepada mereka adalah ketika lebaran hampir tiba, dapat kita lihat di berbagai sudut kota akan tampak pengemis yang berjalan berderet-deret seperti sedang ada even Jalan Santai Berhadiah. Dan ketika jauh sebelum lebaran atau pasca lebaran mereka menghilang begitu saja. Benarkah kemiskinan datang ketika akan datang lebaran, dan kemudian semua pengemis tersebut menjadi berkecukupan ketika lebaran tlah usai? Sebenarnya fenomena apa ini, dan apa penyebabnya?

Berbagai alasan mungkin dikemukakan, tapi bagi saya ini menunjukkan bahwa orang-orang itu telah kehilangan harga dirinya. Siapapun orang yang mau berpikir jernih pasti tak rela dirinya menjadi orang yang meminta-minta dari satu orang ke yang lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya. Dengan baju kumal dan compang-camping. Orang normal pasti akan malu. Orang akan melakukannya hanya jika sangat terpaksa. Karena kelemahan diri misalnya. Atau kemiskinan yang amat sangat mendera, kendati segala daya upaya telah dikerahkan.

Pengemis-pengemis gadungan itu menderita Sindrom Kemalasan Akut. Coba pikirkan. Mereka rata-rata masih muda, berbadan sehat, diajak bicara masih nyambung, tapi mereka rela berdiri di perempatan-perempatan jalan meminta-minta belas kasihan orang yang berlalu-lalang. Mereka jelas-jelas masih bisa bekerja! Dan ketika mereka pulang dengan membawa “hasil jerih payahnya”, mereka melepas “pakaian kerjanya” dan berdandan necis, kemudian melenggang menuju tempat-tempat hiburan.

Sungguh, rasanya menyakitkan. Dan ini adalah fenomena yang mengerikan. Lebih mengerikan lagi karena mereka mengajak anak-anak mereka, atau anak-anak sewaan, untuk ikut menekuni “profesi” itu. Mereka mengajari sejak kecil generasi-generasi masa depan itu dengan sebuah “profesi yang menjanjikan”! Jika generasi-generasi harapan bangsa ini sejak kecil telah dilatih menjadi orang-orang bermental pengemis, mau dibawa kemana negeri kita ini? Relakah kita kelak, dipimpin oleh “para pengemis”?

Rindu Rasul

Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya Rasul
Serasa dikau disini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya surga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
(Taufik Ismail)

Ya. Rasa rindu. Itulah yang selalu menyeruak dalam hati saya ketika membaca sirah Nabi Muhammad SAW. Kapanpun saya membacanya. Dalam keadaan seperti apapun, rasa rindu itu selalu hadir.

Ketika hati ini sedang “merasa” dekat dengan Allah, maka tatkala membaca sirah Kekasih-Nya, rasa cinta dan rindu itu begitu kuat mencengkeram hati. Tatkala diri sedang “berpaling” dari Allah, maka ketika membaca sirah Sang Nabi, ada rasa rindu yang terus menyelusup dalam hati yang beku, merobohkan dinding-dinding keangkuhan, meluluhkan angkara murka, dan seketika berurai air mata.

Betapa. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia. Beliau adalah manusia biasa. Tapi juga seorang yang terpilih. Beliau menjadi Kekasih Allah. Namanya telah ditinggikan (Dan telah Kami tinggikan sebutanmu – QS. Asy Syarh : 4). Yaitu ketika menyebut Allah, kita mengikutsertakan nama beliau SAW, seperti dalam Syahadat.

Peri kehidupan beliau begitu luar biasa. Dalam keadaan senang atau sedih, tawa dan air mata, semuanya membuat saya kagum dan bangga. Membaca sirah beliau dalam berbagai versi, baik model berstruktur sejarah, tematik, atau novel, semuanya terasa luar biasa.

Ketika ada kisah ketika beliau tersenyum atau tertawa, saya rasanya ingin tertawa bersama beliau. Ketika beliau berurai air mata, saya rasanya ingin bersama-sama beliau berbagi kesedihan dan air mata. Ketika ada kisah tentang kepergian beliau, saya rasanya begitu kehilangan yang tak tergambarkan.

Namun rasanya saya malu sekali, ketika kembali menyadari betapa banyak sunah beliau, ajaran beliau, yang belum saya amalkan. Betapa sering saya mengaku cinta, tetapi melaksanakan ajaran yang paling sederhana pun belum saya lakukan. Ya Allah, berilah petunjuk kepada hamba-Mu ini.

Saya hanya berharap, suatu saat dapat mencium tangan beliau yang penuh berkah dan memandang wajahnya yang bercahaya. Mengikuti sunah beliau sebaik-baiknya, menjadi Muslim yang Kaffah. Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ‘ali Muhammad.