Jumat, 24 Desember 2010

Samantha dan Bonekanya

Samantha hanya tahu cara berlari. Kau tak akan bisa memegangnya. Ia bagaikan belut yang lincah berkelit. Tapi ia adalah seorang putri. Putri yang cantik. Dengan wajah merona dan selalu ceria. Rambut pendeknya dibiarkan morat-marit. Tapi ia tetap cantik. Jari lentiknya bergerak kesana kemari. Seperti halnya dirinya. Menari, berlarian. Mengikuti kemana angin berhembus.

Tapi ia pada suatu saat. Berhenti dari berlari. Duduk sambil memeluk bonekanya. Menggumam lirih. “Kita akhirnya akan berhenti di suatu titik. Dimana mimpi akan memudar. Dan yang tersisa adalah kenyataan. Kenyataan yang terkadang begitu mencekam. Bahkan seakan menghentikan aliran darah kita. Tetapi tetaplah titik itu. Ia ada ketika kita belum ada. Ia tetap ada ketika kita telah tiada.”

“Senyata-nyatanya kita memungkiri diri. Kita akan terhempas dalam kedalaman diri. Takkan bisa mengelak. Takkan sanggup menghindar. Seperti halnya kita tak bisa menolak hujan. Kendati kita membencinya. Kendati aku tak suka basah. Tapi ketika hujan datang, aku akan menari-nari di bawahnya.” Itu kata Samantha. Sambil memeluk bonekanya.

Boneka? Ya. Itu dia. Kau tak pernah tahu bukan kenapa dia selalu membawa bonekanya? Aku pun masih sering bertanya tentang itu. Tapi boneka itu selalu menemaninya. Ia berlari, atau berdiri, boneka itu ada. Ia bicara pada bonekanya. Seperti boneka itu punya nyawa. Seperti ia mengenalnya. Tapi bukankan Samantha memang mengenalnya?

Samantha. Gadis cantik berusia dua puluh-an. Ketika aku mengenalnya. Ia yang selalu menari. Berlarian di padang ilalang. Tak pernah lelah-lelahnya. Hanya berlari, menari, tertawa. Tak pernah ada kata. Kecuali waktu itu. Aku telah menceritakannya kepadamu. Dan itu membuatku heran. Dan terluka. Terluka karena melihatnya tampak terluka. Apakah Samantha terluka? Mungkin bonekanya yang tahu. Karena ia selalu bercerita boneka itu. Dengan pelukan. Dengan tatap mata.

Lalu di hari itu aku tak menemukan Samantha. Aku tak menemukannya di padang ilalang. Aku tak menjumpainya di gubuk dekat danau. Tempat dimana ia pernah berkata. Dalam gumamnya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Bonekanya! Mungkin boneka itu yang membujuknya. Untuk pergi dariku. Untuk membiarkanku terkatung-katung mencarinya. Ya, pasti boneka itu. Boneka itu pasti telah membawa Samantha. Tapi kemana? Tapi kenapa?

Aku tak pernah menyakitinya. Kenapa ia meninggalkanku? Apa ia membenciku? Ah, tidak. Aku harap tidak. Aku tak mau Samantha membenciku. Aku ingin Samantha tahu, bahwa aku sangat perduli kepadanya. Tapi aku belum pernah mengatakannya. Bodohnya diriku. Kalau saja ada kesempatan lagi. Kalau saja aku bertemu lagi dengan Samantha. Aku tak akan membiarkannya pergi lagi dariku. Tak akan.

Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang. Suara ibuku. Ah, ia memanggil namaku. “Samantha, kau disitu…?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar