Jumat, 29 Oktober 2010

Menciptakan Kebahagiaan

Suatu hari ada seorang pengemis datang ke rumah saya. Sambil menggendong seorang anak kecil, dan wajahnya yang lusuh masai, membuat saya merasa iba. Sepeninggal pengemis itu, saya merasakan ada sesuatu dengan saya. Saya merasa ada perbedaan dalam hati saya. Dan ternyata itu adalah kegembiaraan. Ya, saya merasa gembira, bahagia.

Beberapa lama saya terpekur, mencoba menyusuri alam pikiran saya, apa yang menyebabkan saya gembira. Apa hubungan kegembiaraan saya dengan pengemis tadi. Setelah beberapa lama, akhirnya saya menyadari penyebabnya. Saya memberikan sesuatu yang diminta oleh pengemis tadi. Memang nilainya tidak seberapa. Tetapi perbuatan saya, yaitu memberi apa yang dibutuhkan orang lain itulah yang membuat saya gembira, bahagia.

Konsep inilah yang hendak saya tawarkan kepada Anda dalam menciptakan kebahagiaan. Memberi. Lebih spesifik lagi adalah memberikan apa yang memang dibutuhkan seseorang, dan kita mampu untuk melakukannya. Kalau kita mau telusuri, dalam Islam banyak sekali anjuran untuk memberi ini, misalnya perintah untuk berzakat, sedekah, ungkapan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, adagium memberikan sesuatu dengan tangan kanan yang tidak diketahui oleh tangan kiri, dan sebagainya.

Perintah atau anjuran ini tidak asal-asalan. Selain untuk menciptakan pemerataan, mempersempit kesenjangan sosial, sekaligus menumbuhkan rasa kasih sayang diantara sesama, ternyata bagi pribadi-pribadi yang mau memberi, akan dianugerahi Allah kebahagiaan. Cobalah, dan buktikan! Saya sendiri sebenarnya pada awalnya juga tidak percaya dengan pemahaman saya. Tetapi kemudian saya mencoba mengulang tindakan saya, memberi dan memberi semampu saya. Dan ternyata semakin sering saya memberi, semakin bahagia diri saya.

Anda boleh menerjemahkan kta “memberi” ini seperti yang saya contohkan, yaitu secara sempit dengan jalan memberikan barang/ bantuan kepada orang yang membutuhkan. Atau secara luas, yaitu dengan mengerahkan segala yang kita mampu - tenaga, pikiran, harta – untuk diberikan kepada sesama. Dengan pengertian yang lebih luas ini, jika Anda seorang pegawai, misalnya, maka Anda akan bekerja dengan jujur, rajin, semangat, untuk mencapai tujuan bersama instansi Anda. Anda akan memberikan yang terbaik yang Anda bisa, untuk instansi Anda, karena Anda juga telah diberi kepercayaan untuk menempati posisi Anda saat ini, dan instansi tersebut memang membutuhkan Anda.

Jika Anda seorang pedagang, Anda akan berdagang dengan cara-cara yang jujur, mengutamakan kualitas, memberikan pelayanan yang terbaik kepada pembeli. Jika Anda seorang petani, maka Anda akan bekerja sebaik mungkin agar hasil panen Anda baik dan melimpah. Demikian pula jika Anda seorang guru, tukang service, salesman, sopir, anggota dewan, wiraswasta, tentara, dan sebagainya. Atau, ketika Anda sedang melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti membersihkan rumah, membetulkan genteng yang bocor, menolong orang menyeberang jalan, menanam bunga, bahkan menggosok gigi.

Ketika semangat memberi yang terbaik telah terpatri dalam jiwa Anda, maka Anda akan melakukan apapun pekerjaan Anda, apapun kegiatan Anda, dengan cara yang terbaik. Anda tak akan merasa terbebani, karena semangat Anda, keinginan Anda, telah melahirkan sebuah kesadaran dalam diri Anda. Yang artinya Anda tak perlu lagi dipaksa untuk melakukan itu semua. Anda akan melakukannya dengan senang hati. Bahkan ketika Anda melakukannya untuk diri Anda sendiri. Perlukah itu? Ya, karena Anda pun berhak memperoleh yang terbaik dari diri Anda sendiri. Dan itu adalah sebuah penghargaan Anda terhadap diri Anda sendiri.

Ketika semua itu terjadi, maka yakinlah kebahagiaan akan senantiasa mendatangi Anda, menjadi bagian dalam hidup Anda. Anda ingin bahagia? Ciptakanlah kebahagiaan itu, dengan memberikan yang terbaik yang punyai! Selamat menjadi orang yang berbahagia.

Senin, 25 Oktober 2010

Pengelolaan Harta : Sebuah Sudut Pandang Barat vs Islam

Saya membaca sebuah buku tentang keuangan, yang ditulis oleh seorang praktisi keuangan AS. Dalam buku tersebut ada sebuah contoh kasus yang menarik bagi saya. Sebenarnya ada dua kasus, tetapi digunakan untuk menarik sebuah kesimpulan. Kasus pertama, seseorang membelanjakan uangnya, Rp. 50 ribu – misalnya – untuk menonton sebuah konser musik. Setelah mendapatkan tiketnya ia pergi untuk membeli minuman. Karena begitu banyaknya orang yang antri untuk membeli tiket, tanpa sengaja tiketnya jatuh dan hilang. Akhirnya dengan terpaksa ia harus antri lagi untuk membeli tiket yang sama. Dan artinya, ia mengeluarkan uang Rp. 100 ribu hanya untuk menonton sebuah konser musik.

Kasus kedua, dalam contoh yang sama, hanya saja ketika orang tersebut baru akan membeli tiket konser, ia baru menyadari bahwa ia telah kehilangan uang Rp. 50 ribu di tempat parkir. Namun ia masih punya cukup uang untuk membeli tiket konser tersebut. Menurut sang penulis buku, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa dalam kasus pertama, seseorang kehilangan uang Rp. 100 ribu (dua kali lipat dari yang seharusnya) hanya untuk menonton konser. Sedangkan dalam kasus kedua, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa orang tersebut kehilangan uang Rp. 50 ribu untuk tiket konser, sedangkan kehilangan uang Rp. 50 ribu di tempat parkir adalah biaya lain-lain/tak terduga.

Sang penulis melanjutkan bahwa ini disebut sebagai mental accounting. Disebut demikian karena seorang akunting biasa memilah-milah jenis/klasifikasi biaya dalam pos yang berbeda sekalipun jumlahnya sama. Menurut sang penulis, sikap seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam praktik keuangan, karena pada dasarnya uang yang dikeluarkan/ dibelanjakan adalah sama, sehingga nilai uang = harga yang harus dibayarkan.

Pemikiran sang penulis ini seringkali kita jumpai dalam literasi pemikiran barat, pun juga dalam kehidupan barat secara umum. Kita lihat sekilas saja, pandangan semacam ini bertumpu pada satu hal, yaitu uang sebagai ukuran. Tak perduli untuk tujuan apapun, intinya uang yang diterima atau dikeluarkan, itulah nilai dari sebuah perbuatan / keputusan.

Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Segala perbuatan adalah sesuai niatnya. Begitu salah satu bunyi hadits. Dalam Islam, memang niatlah yang menentukan apakah sebuah perbuatan tersebut bernilai (positif / negatif) atau tidak. Ukuran-ukuran materi bukan merupakan pembanding utama. Tetapi apa yang ada dalam hati, tujuan dari sebuah perbuatan, itulah yang utama.

Misalnya begini, seseorang membelanjakan uang Rp. 50 ribu untuk menonton konser, atau makan-makan, atau bersenang-senang lainnya, dengan seseorang yang membelanjakan uang Rp 50 ribu untuk bersedekah / infaq. Adakah nilainya sama? Jika menilik pada pandangan barat, nilainya pastilah sama. Karena uang yang dibelanjakan sama-sama Rp 50 ribu. Seseorang sama-sama kehilangan uang Rp 50 ribu. Namun dalam Islam, tentu nilainya tidak sama. Angka Rp 50 ribu hanyalah harga, bukan nilai. Nilai dilihat dari niat, harga dilihat dari materi / jumlah.

Dalam Islam, harga / jumlah yang dikeluarkan memang sama dalam dua kasus tersebut. Tetapi nilai dari dua kasus tersebut bisa terpaut sangat jauh. Uang Rp. 50 ribu untuk bersenang-senang, jika tindakan itu untuk menghibur diri agar kemudian dapat beraktivitas / bermuamalah lebih baik lagi mungkin memang nilainya lumayan, minimal mungkin 2 kali sampai 10 kali dari uang yang dikeluarkan. Tapi jika tindakan bersenang-senang tersebut hanya sekedar untuk menuruti hawa nafsu, maka ia tidak bernilai sama sekali. Bahkan bisa bernilai minus / negatif (dosa).

Sebaliknya, uang Rp 50 ribu yang dibelanjakan untuk bersedekah / infaq, nilainya bisa sampai 700 kali lipat, bahkan tak terbatas, dari jumlah uang yang dikeluarkan. Dengan syarat ikhlas tentunya. Coba bandingkan, mana yang lebih baik dari dua pandangan tersebut, Islam atau barat? Memang, nilai yang diakui dalam Islam kebanyakan tidak bisa dilihat / diketahui saat ini (di dunia). Baru bisa dilihat nanti di akhirat. Tetapi bukankah hidup kita memang tidak melulu di dunia? Bukankah suatu saat kita akan kembali kepada-Nya? Keyakinan seperti inilah yang seringkali diabaikan oleh barat. Bukannya mereka tidak tahu, tetapi mengabaikan, menganggap tidak terlalu urgen. Yang terpenting adalah sekarang, di dunia ini. Maka bersyukurlah bagi Anda yang menjadi Muslim, yang memiliki mental accounting dengan acuan ilahiah.

Minggu, 24 Oktober 2010

Pencarian

Pada sebuah sore aku bertanya
Adakah matahari akan mengunjunginya esok hari
Di atas pematang sisa yang terbakar
Berjingkat menjauhiku
Sore yang indah tertimpa hujan yang sangat

Pada mimpi yang lelap aku mencoba
Membingkainya dalam kayu yang kurangkai
Kuhias dengan pita-pita renda sulaman
Ia berlalu menggelung dirinya dalam malu
Menyalakan sadarku setelah sekian lamanya

Pada angin berputar aku menyapa
Seperti apa warna kekekalan itu
Barangkali ia tlah melihatnya dari para malaikat
Angin menamparku yang terhuyung
Lalu menangis di atas bebatuan yang pecah

Pada hatiku aku tengadah
Mencari sebuah suar yang mungkin kutemukan
Dan ternyata aku harus bungkam selamanya
Aku melihat pelita sepenuh langit bumi
Bersimpuh di bawah kaki cahaya
Tak berasa berapa lama aku lupa

Kediri, 26062009

Selasa, 12 Oktober 2010

Budi dan Istana Surga

Anak itu bernama Budi. Mestinya ia tak pantas lagi disebut sebagai anak-anak. Usianya sekitar 20 an. Tapi tingkahnya masih seperti anak kecil. Ditambah postur tubuhnya yang kecil. Dan ia selalu berada dalam dunianya sendiri.

Budi sering bermain di instansi tempatku bekerja. Sekedar ikut nongkrong di parkiran, walaupun ia sering dikerjain oleh orang-orang yang berada di situ. Atau nggloso di Mushalla. Atau kesana kemari sambil teriak-teriak, bersiut-siut, tertawa-tertawa sendiri, atau kalau lagi beruntung, ia diajak bicara, bercanda, bahkan diberi uang oleh orang-orang yang mengunjungi instansi kami. Pagi hingga siang, siang hingga sore ia disitu. Mampir ke warung adalah momen yang tak pernah ia lewatkan. Ngopi, atau merokok adalah wajib baginya. Kendati banyak orang telah mengingatkan perihal kebiasaan buruk merokoknya itu. Bila ia tak punya uang untuk beli makan atau ngopi, ia akan menangis, meraung-raung, bahkan mencak-mencak tak karuan. Jika sudah begitu orang-orang akan iba, dan memberikan uang sekedarnya, seribu, dua ribu, atau lima ribu. Dan ia akan diam.

Tukang parkir dan cleaning service adalah orang-orang yang paling sering ngerjain Budi. Dan anak malang itu akan marah-marah, teriak-teriak, membuat takut beberapa pengunjung. Aku juga pernah melihat, atau mendengar, ia berlari ke tengah jalan yang sering dilalui oleh truk dan kendaraan-kendaraan lain dalam kecepatan tinggi. Berteriak-teriak sambil meneriakkan kata “mati, mati, mati!” Seakan-akan ia ingin mengakhiri hidupnya. Entah apa yang ia rasakan. Entah apa yang ia pikirkan (apakah ia masih bisa berpikir?). Lalu beberapa orang akan segera menggendongnya, menariknya (atau memaksanya) ke tepi. Memberinya beberapa lembar uang, dan ia akan bersungut-sungut meninggalkan tempat itu.

Kadang hati ini begitu perih menyaksikan itu semua. Seorang anak malang, anak yang “tak lengkap akalnya”, mengalami itu semua. Dari penjaga warung di sebelah instansi kami, baru tahulah aku akan sejarahnya. Konon Budi lahir dari sebuah hubungan gelap, perzinaan. Ketika masih dalam kandungan ia pernah digugurkan. Tapi pengguguran kandungan itu gagal. Budi tetap hidup. Budi tetap lahir. Tetapi fisiknya yang agak mengalami gangguan. Dan mentalnya tak terbentuk sempurna. Orang tua kandungnya tak mau merawatnya. Sejak kecil ia dirawat oleh orang lain. Orang yang ternyata mengantar ibu si Budi untuk menggugurkan kandungan. Orang yang tak sadar jika ia diminta mengantar untuk menggugurkan kandungan. Orang tua inilah yang kemudian iba terhadap si Budi, dan merawatnya hingga ia berusia 20 an ini.

Sungguh, Allah menciptakan segala sesuatu penuh hikmah. Tak ada yang sia-sia dari ciptaan-Nya. Aku kadang berpikir, bisa jadi anak seperti Budi, orang-orang seperti Budi ini, yang kelak masuk surga terlebih dahulu. Lebih dahulu daripada kita-kita (jika kita masuk surga). Aku ingat tulisan Syeikh Mutawalli Sya’rawi, bahwa orang yang tidak berakal tidak dibebani syariat. Artinya, setiap perbuatan mereka, sepanjang mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan, tidak ada nilainya. Jika ia berbuat baik maka tidak ada pahala atasnya. Jika ia berbuat jahat tidak ada dosa padanya. Mereka ibarat kertas putih yang tetap tak ada tulisannya (kendati bukan balita lagi). Sekalipun dari luar terlihat lusuh, tetapi bagian dalamnya tetap putih.

Mungkin kelak di akhirat mereka menjadi orang-orang yang paling sempurna akalnya. Orang-orang yang paling sempurna fisiknya. Orang-orang yang dekat dengan Allah. Mungkin mereka kelak di akhirat akan termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama kali mewarisi istana surga. Orang-orang yang mendapat kenikmatan tiada tara dengan memandang Wajah-Nya. Dan kita, orang-orang yang konon mempunyai pemikiran yang cerdas, fisik yang rupawan, harta benda yang berlimpah, amal yang konon juga banyak, mungkin justru terseok-seok mengikuti mereka. Mungkin justru masih dibakar di neraka demi membersihkan dosa-dosa kita. Mungkin hanya bermimpi tentang istana surga...
Wallahu a’lam.