Jumat, 24 Desember 2010

Rokok : Mungkinkah Ditiadakan?

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di kabinet menteri merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok
di apotik yang antri obat merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Membaca syair Taufik Ismail di atas membuat saya seperti diingatkan kembali betapa buruknya dampak rokok bagi kehidupan kita. Sayangnya kita sudah terlalu kebal dengan keburukan rokok ini, menganggapnya biasa, karena rokok selalu berseliweran dengan bebas di sekitar kita. Dampak negatif rokok bukan hanya dari segi kesehatan (yang sudah jelas dan pasti), akan tetapi dari segi-segi lain seperti sosial, mental, bahkan ibadah juga dapat kita rasakan. Saya jadi punya mimpi, bilamana rokok ini ditiadakan, mungkinkah?

Jika Anda perhatikan, rokok telah dikonsumsi oleh orang dari berbagai kalangan. Mulai rakyat berpenghasilan rendah sampai para pejabat tinggi, dari penjahat sampai ulama. Bahkan yang lebih miris, dari usia anak-anak sampai kakek-kakek. Laki-laki dan perempuan, walaupun kecenderungan tetap pada laki-laki.

Dari segi mental misalnya, orang berekonomi tinggi menjadikan rokok sebagai gaya hidup. Orang berekonomi sedang menjadikan rokok sebagai kebiasaan. Dan orang berpenghasilan rendah menjadikan rokok sebagai pelipur lara dan gundah gulana. Dari situ jelas terlihat bahwa rokok tak pernah benar-benar menjadi sebuah kebutuhan mendasar, pokok, atau mendesak, yang jika tidak terpenuhi orang akan tidak mampu bertahan hidup.

Dari segi sosial, orang rela membuang uangnya sekian ribu per hari, per bulan, untuk membeli barang yang dapat menyakiti dirinya. Bagi yang berekonomi sedang atau tinggi, mungkin tak ada masalah dari segi ini. Tetapi bagaimana dengan yang berekonomi rendah? Tak jarang kita jumpai orang-orang miskin rela tidak makan hanya demi rokok, rela bertengkar dengan anak istrinya hanya karena rokok, nekat memalak, menjambret orang hanya karena tak mampu menahan keinginan untuk merokok.

Dari segi lain seperti ibadah misalnya, orang membeli rokok sama saja dengan membeli penyakit, menyakiti dirinya sendiri. Menyakiti diri sendiri jelas-jelas dilarang oleh agama. Belum lagi dari aspek membuang-buang uangnya. Bukankah uang itu dapat digunakan untuk sedekah,misalnya? Orang merokok tak jarang sambil ngobrol ngalor ngidul yang mungkin manfaatnya tak terlalu ada. Dan tak jarang mereka menjadi lalai ketika telah tiba waktu beribadah.

Tak heran jika kemudian ada ormas Islam yang mengharamkan rokok. Kendati sempat membuat heboh seluruh negeri, fatwa ini kemudian seakan-akan hilang di tengah pusaran waktu. Lebih banyaknya orang yang kontra daripada yang mendukung fatwa ini, menjadikan fatwa ini cepat dilupakan orang. Terlebih lagi pemerintah seakan juga kontra dengan fatwa ini, meskipun hal itu tidak ditunjukkan. Pasalnya, pemerintah memperoleh pendapatan yang besar dari cukai rokok ini. Dan tentu saja pemerintah tak mau kehilangan kesempatan ini.

Kembali ke pertanyaan awal, seperti judul tulisan ini, Mungkinkah rokok ditiadakan? Kalau boleh saya bermimpi, maka kemungkinan itu bisa jadi fifty-fifty, tergantung keseriusan kita semua. Pihak pertama yang paling berwenang dalam hal ini jelas, pemerintah. Jika pemerintah serius meniadakan rokok dari negeri ini, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat skema/skenario, dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, yaitu mengatasi dampak sosial dari merokok yang berupa pengangguran sekian juta rakyat Indonesia yang bergantung pada industri rokok dan tembakau ini.

Hal yang pasti harus dilakukan adalah mengalihkan semua kegiatan perekonomian yang berkaitan dengan rokok dan tembakau kepada kegiatan lainnya. Misal, perkebunan tembakau dirubah menjadi perkebunan coklat, atau kopi, atau yang lainnya. Tentu saja dengan berbagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Dan perubahan ini juga harus didukung oleh analisis mengenai pangsa pasar apa yang masih terbuka, baik di dalam maupun luar negeri. Pabrik-pabrik rokok pun juga mesti mengikuti perubahan ini.

Pihak kedua adalah praktisi kesehatan. Mereka berperan memberikan penyuluhan, himbauan, penyadaran kepada masyarakat tentang dampak negatif rokok dari segi kesehatan. Pihak ketiga adalah ulama/rohaniawan. Mereka ini memberikan pemahaman kepada masyarakat ditinjau dari segi agama. Dan tentu, sebelum hal itu dilakukan, para ulama harus memberi teladan terlebih dahulu dengan meninggalkan rokok dari kehidupan mereka. Sayangnya, banyak ulama yang ahli hisab (rokok) memandang bahwa rokok toh masih makruh (menurut mereka), sehingga tetap boleh dikonsumsi. Mereka tidak mencari yang lebih utama, yaitu dengan meninggalkannya. (Jika ulamanya berpandangan seperti itu, bagaimana dengan orang awam?)

Andaikan saja tiga pilar itu telah menjalankan perannya dengan baik, maka selanjutnya adalah sosialisasi sejak dini melalui sekolah-sekolah. Dan tentu saja ini berarti para guru dan Kepala Sekolah harus memberi contoh terlebih dahulu dengan tidak merokok.

Jangan Anda berpikir bahwa semua ini harus dilakukan secara cepat. Tidak, tentu tidak. Melainkan secara gradual. Buat dulu wilayah percontohan (pilot project). Setelah berhasil baru diterapkan di daerah-daerah lainnya. Ini tidak mudah. Kuncinya adalah di sikap pemerintah, keseriusan dan konsistensinya. Karena hal ini akan berlangsung sampai mempergantikan pemerintahan berkali-kali. Dalam kurun waktu 30-50 tahun (minimal) mungkin baru bisa terlihat hasilnya.

Ini adalah mimpi saya, jika saya boleh bermimpi. Dan tentu saja langkah-langkah yang saya sebutkan di atas masih terlalu mentah untuk diterjemahkan menjadi sebuah solusi. Saya berharap akan banyak ahli-ahli, orang-orang cerdas di negeri ini yang bersedia mencarikan jalan keluar berkaitan dengan masalah rokok ini. Itu kalau ada yang mau... Kalau ada yang setuju dengan mimpi saya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar