Senin, 29 Agustus 2011

Ramadhan, Nasibmu dari Masa ke Masa



Kue,kue…bunga…taplak meja yang baru
Baju baru, motor, mobil, cincin dan gelang
Berapa puluh kali aku harus melihatnya
Pameran ajang kemewahan dan kebanggaan
Menjadi melamun dan diam kala kau tak punya uang

Jalan-jalan dibanjiri manusia
Muda-mudi bergandengan tangan, berbelanja
Padahal mereka bukan muhrim, … dan belum menikah…
Tahukah kau bahwa mereka juga masih berpuasa lo!
Bahkan tak pernah bolong, konon… 

Suasana itu yang senantiasa saya temui di bulan Ramadhan hari-hari terakhir. Semua orang sibuk menghabiskan uangnya di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar-pasar. Memenuhi keinginan perut, ego, dan kesombongan. Mereka lupa bulan Ramadhan masih belum berakhir. Bukankah Ramadhan adalah bulan yang penuh pahala? Bukankah semestinya orang-orang di bulan itu saling berlomba untuk menambah amal ibadah mereka, kendati hanya tersisa beberapa hari? Bukankah hari-hari terakhir bulan Ramadhan adalah saat untuk menjemput Lailatul Qadr?

Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu nampaknya sudah menjadi usang, kuno. Orang tak merasa perlu lagi untuk mengikutinya. Orang-orang begitu bersemangat untuk menyambut bulan Syawal, yang berarti juga mengakhiri masa Ramadhan. Orang-orang lebih sibuk, lebih asyik menyambut bulan Syawal daripada memanfaatkan sisa Ramadhan. Seakan-akan Ramadhan adalah bulan yang penuh siksaan, kekangan. Seakan-akan tawaran kemurahan Allah di bulan itu merupakan bencana bagi manusia! Astaghfirullah…

Padahal, bukankah kita semua tahu, 1 Syawal, hari Iedul Fitri, adalah simbol kemenangan. Bahwa kita telah melewati ujian terberat umat manusia selama satu bulan. Ujian melawan hawa nafsu kita. Ujian yang tidak semua orang bisa melaluinya. Ramadhan sendiri juga simbol perjuangan melawan nafsu itu. Karena perjuangan yang sesungguhnya berlangsung setiap waktu, setiap detik. Bukan hanya di bulan Ramadhan. Ketika kita telah memenangkan sebuah simbol, maka kita akan memperoleh simbol pula. Simbol kemenangan, Iedul Fitri.

Tapi, benarkah kita telah memenangkan Ramadhan? Benarkah kita telah menaklukkan nafsu kita? Seberapa percaya-dirikah kita untuk mengatakan bahwa kita telah berhasil lulus dengan sempurna? Karena ketika kita telah yakin lulus dalam bulan Ramadhan, telah mengalahkan nafsu kita, maka sesungguhnya kita gagal total. Karena kita telah jatuh ke dalam kesombongan. Dan kesombongan adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah. Alih-alih mendapat pembebasan dari api neraka, kita justru akan dilemparkan ke dalamnya!

Lalu pertanyaannya, apa yang orang-orang itu rayakan di akhir Ramadhan dan di awal Syawal? Kemenangan atas penaklukan hawa nafsu mereka? Benarkah sudah pantas? Bukankah semestinya akhir Ramadhan diisi dengan semakin tunduk kepada Allah, menjadi orang yang lebih tenang dan bijak, waspada terhadap tipu daya dunia? Bukankah akhir Ramadhan adalah saat-saat orang mencucurkan air mata seraya bertanya-tanya, akankah kita bertemu Ramadhan tahun depan? Siapkah kita, jika Ramadhan yang kita jalani sekarang adalah Ramadhan terakhir dalam hidup kita? Siapkah kita bertemu Rabb kita dengan membawa amal ibadah yang tidak seberapa? Itukah yang akan kita persembahkan untuk Kekasih kita?
Ya Allah, semoga Engkau mempertemukan kami dengan Ramadhan tahun depan.
Ya Allah, berilah petunjuk senantiasa kepada hamba-Mu yang fakir ini.
Ya Allah, kami memang tak pantas memasuki surga-Mu, tetapi sungguh kami tak sanggup menjalani hidup di neraka-Mu.

 
Maka rahmatilah kami, ampunilah kami, bimbinglah kami, dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung, orang-orang yang mulia di sisi-Mu.
Amin….

Minggu, 12 Juni 2011

Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 2)

Peran Para Ulama

Dalam berbagai literatur sejarah Islam kita akan menjumpai segudang prestasi yang telah dicapai pada masa kekhilafahan Islam. Sejak zaman Khulafaur Rasyidin hingga akhir Khilafah Utsmaniyah. Kita akan menjumpai berbagai kecemerlangan dan kesempurnaan sejarah Islam. Terutama pada buku-buku sejarah Islam kontemporer. Saya belum pernah menjumpai ada penulis Muslim (Sunni) yang menuliskan keburukan dalam sejarah Islam.

Jika ada tulisan Muslim yang mengeluhkan keburukan sejarah Khilafah Islam, hampir bisa dipastikan itu berasal dari kaum Syiah atau Islam liberal. Namun tetap saja, sebagai seorang Sunni, saya sempat merasakan kegelisahan membaca sejarah kekhilafahan Islam. Benarkah sejarah Islam berjalan begitu indah, padahal umat Islam adalah bagian dari umat manusia yang tak sempurna? Bukannya saya ingin mencari kejelekan dari sejarah Islam, tetapi melihat kenyataan adanya perselisihan antara Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a dan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a, serta antara Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a dengan Muawiyah r.a membuat saya terpaksa berpikir seperti itu. Tetapi mengapa para ulama hampir tak pernah mengabarkan kelemahan dari sejarah khilafah Islam untuk dijadikan bahan studi?

Fouda dalam bukunya juga mempertanyakan hal yang sama. Bahkan lebih. Fouda seakan-akan menyatakan ada sebuah kebenaran yang hilang dalam sejarah Khilafah Islam. Ada fakta yang sengaja ditutupi oleh para ulama untuk mencapai agenda tertentu. Pendapat ini cukup ekstrim menurut saya. Namun bisa saja ada benarnya. Akan tetapi, kalaupun para ulama sekarang sengaja menutup-nutupi fakta tentang “penyimpangan-penyimpangan” dalam sejarah khilafah Islam tersebut, tentu hal itu bukan tanpa alasan. Kestabilan umat Islam saya kira adalah salah satu alasannya, selain agar tumbuh cita-cita, impian luhur untuk mewujudkan masyarakat Islam dan pemerintahan Islam yang ideal.

Umat Islam mestinya memang tahu kelemahan-kelemahan dalam sejarahnya, tetapi mungkin tidak perlu seluruh umat, cukup orang-orang tertentu saja. Misalnya para pemikir-pemikir Muslim, ilmuwan-ilmuwan Muslim, dan para ulama saja. Ini misal. Mengapa demikian? Karena mereka inilah yang memiliki kapabilitas untuk merekonstruksi, merancang sistem pemerintahan Islam yang ideal untuk masa kini, sekaligus mengeliminir penyimpangan-penyimpangan yang mungkin akan timbul jika nantinya sistem khilafah kembali tegak berdiri.

Kita juga harus ingat bahwa Rasulullah telah menyampaikan bahwa generasi terbaik Islam adalah pada masa Rasulullah dan sahabat, kemudian tabi’in, dan tabiut tabi’in. Rasulullah pernah bersabda tentang kematian Umar bin Khattab r.a. Bahwa Umar adalah gerbang / pintu fitnah. Artinya, ketika Umar tiada, maka akan bermunculan fitnah dalam umat Islam. Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan bahwa cucu-cucunya, Hasan dan Hussein akan mati syahid dan mereka menjadi penghulu pemuda surga. Rasul juga pernah menyebutkan bahwa Ammar bin Yasser r.a akan dibunuh oleh kaum yang bengis.

Semua yang disebutkan Rasulullah benar terjadi. Mustahil jika beliau tidak tahu bahwa semua itu terjadi tidak lama setelah kepergian beliau. Pun demikian Rasulullah tetap menyampaikan bahwa masa –masa tersebut adalah generasi-generasi terbaik dalam Islam. Dengan memperhatikan hadits tersebut, tidak mengherankan jika para ulama tetap menjadikan kehidupan masa-masa tersebut sebagai rujukan kehidupan umat Islam yang lebih baik daripada sekarang.

Masyarakat Islam tumbuh sebagai masyarakat yang sholeh pada saat itu. Saat dimana kekhilafahan Islam berkuasa. Walaupun tetap terjadi penyimpangan dalam politiknya. Dan kita tentu cukup paham bahwa ketika kita mengambil teladan, tentu yang diambil adalah sisi yang baik. Sedangkan sisi yang buruk kita tinggalkan. Bukan dilupakan, tetapi ditinggalkan dan kita jadikan ibrah untuk menata kehidupan supaya lebih baik.

Tetapi masih saja ada hal yang yang menjadi pertanyaan saya, yaitu apa yang dilakukan para ulama masa-masa itu? Kemana mereka? Satu contoh pada kasus peristiwa Karbala. Di saat Hussein dan keluarganya dikepung tentara Yazid bin Muawiyah, kemana para ulama? Bukankah bisa saja, mereka mengerahkan murid-muridnya, pengikutnya untuk berdiri di belakang Hussein, membela cucu Rasulullah? Mengapa hal itu tidak dilakukan?

Apakah para ulama memandang bahwa hal itu sudah masuk ranah politik sehingga mereka tak mau mencampurinya? Apakah mereka telah kalah legitimasi dibandingkan para politisi saat itu? Tidakkah mereka ingat bahwa yang akan dibantai adalah para Ahlul Bait, keluarga Nabi?

Bagi saya itu tetap menjadi sebuah misteri. Hal yang sama terjadi pada masa setelahnya. Ketika terjadi kezaliman penguasa, penyimpangan dalam pelaksanaan sistem politik dan pemerintahan, apa yang menahan para ulama untuk melakukan pengoreksian? Secara terstruktur, terorganisir, dan melibatkan massa tentunya. Karena jika koreksi sendiri-sendiri saya kira beberapa ulama telah melakukannya. Dan tak jarang diantara mereka harus mengahiri hidupnya dalam penjara atau di tiang gantungan.

Fouda memandangnya dengan cara yang keras. Tidak adanya kritik dari ulama yang mampu mengubah kebijakan politik saat itu menjadikan Fouda beranggapan bahwa ulama justru menjadi alat legitimasi para penguasa. Bisa jadi memang ada ulama yang demikian. Istilahnya kalau sekarang ada ulama pro pemerintah, ada ulama pro rakyat. Bisa jadi pula pada saat itu telah terjadi pemisahan antara urusan Negara dan urusan agama, alias Negara sekuler, dimana para ulama tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Lebih suka mengejar kenikmatan ibadah seorang diri.

Tuduhan-tuduhan Fouda memang cukup “kejam”. Tetapi kita harus membuka mata dan pikiran kita, bahwa bisa saja sekian persen dari tuduhan itu benar. Bisa saja. Paling tidak, ada sedikit ulama yang berlaku demikian. Saya tak suka melakukannya atau memikirkannya, tetapi ulama tetaplah seorang manusia. Kadang salah, dan tak jarang lupa atau terlena. Sebuah contoh konkrit pada masa kini. Bukankah banyak para ulama masa kini yang tak ragu-ragu masuk dalam kancah politik yang kemudian akhirnya menenggelamkannya dalam arus politik yang kotor? Mereka tahu tetapi tetap saja mengikuti arus itu. Bukankah di masyarakat sekarang banyak pula terjadi praktik bid'ah, tahayul dan kemusyrikan? Lalu dimana para ulama? Bukankah sekarang banyak pula ulama yang beraliran liberal?

Semua pertanyaan ini akhirnya memaksa saya untuk mau atau tidak mau, sedikit atau banyak, juga "mendukung" kritik Fouda kepada para ulama. Benarkah mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik? Jika para ulama tak mampu memberikan contoh yang terbaik, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Masih banyak memang, ulama yang masih menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, tetapi sayangnya mereka tidak mendapat dukungan dari banyak pihak, sehingga upaya yang mereka lakukan seperti angin lalu. Semoga Allah SWT menguatkan umat ini dengan para ulama yang benar-benar takut Allah, pemimpin yang berpegang pada Al Qur'an dan Sunnah, dan masyarakat yang senantiasa merindukan ridha-Nya.

Team Work

Awalnya saya adalah tipe orang yang suka mengerjakan segala sesuatu sendirian. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari, adakalanya saya harus bekerjasama dengan orang lain. Dalam sebuah tim kerja. Untuk menghasilkan sesuatu secara lebih baik, atau untuk tujuan / kepentingan bersama.

Namun ternyata membentuk tim kerja bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kendati ada banyak orang yang memiliki kepentingan bersama, ada sesuatu yang harus diperjuangkan bersama, ternyata tidak semua orang memiliki kesadaran yang sama. Ada saja orang-orang yang menganggap perjuangan itu tidak penting. Maunya hanya menikmati hasilnya. Saya jadi teringat cerita tentang Bani Israil. Ketika Nabi Musa AS mengajak mereka untuk melawan suatu kaum yang zalim, Bani Israil menjawab, “…pergilah engkau berdua dengan Tuhanmu untuk berperang…”. Seakan-akan hanya Nabi Musa yang membutuhkan kebebasan dari penindasan. Bahkan lebih lagi, ucapan mereka menyiratkan seakan-akan Allah yang butuh kemenangan atas hamba-Nya!! Ckk..ck…ck…

Tapi memang itulah sifat Bani Israil. Maunya enak sendiri. Kalau tinggal menikmati hasil yang baik, mereka berbondong-bondong menyambutnya. Nah, sayangnya, diantara umat Muslim pun ada yang bersifat demikian. Banyak malah. Sifat seperti inilah diantaranya yang menghambat saya ketika hendak membentuk sebuah tim kerja. Hal yang sama juga dialami oleh teman yang lain yang juga menjadi Ketua Tim. Tim kecil memang telah terbentuk dan mampu bekerja dengan baik. Tapi tim yang lebih besar, melibatkan orang yang lebih banyak, sungguh berat rasanya.

Dalam Islam sendiri team work bukanlah hal yang asing. Betapa banyak Nabi telah memberi contoh pentingnya kerjasama tim. Mulai dari hal yang sederhana seperti membangun rumah, masjid, gotong-royong dalam masyarakat, shalat, sampai berperang. Dalam Islam juga diajarkan agar merapatkan barisan ketika shalat agar tampak seperti bangunan (benteng) yang kokoh. Dengan adanya benteng yang kokoh tak akan ada musuh yang mampu menerjang.

Benteng akan berdiri kokoh manakala satu tiang dengan tiang lain terjalin dengan kuat. Dengan kayu atau batu yang seperti jaring. Mengikat kuat. Itulah kerjasama. Ketika satu anggota tim bekerja dengan giat melakukan tugasnya, ia sesungguhnya membuat jalinan yang kuat dengan rekannya. Jika semua anggota tim bertindak demikian, maka akan tercipta “benteng”, sehingga tujuan dibentuknya tim akan mudah tercapai.

Sebaliknya, jika ada satu saja yang “ngglendor”, maka akan terbentuk lubang pada benteng itu. Sehingga bisa saja ada anak panah yang masuk, tombak, atau apapun yang bisa merobohkan benteng atau mencelakai penghuni benteng. Namun sekali lagi, pintu gerbang dari kerjasama adalah kesadaran. Bukan paksaan. Paksaan hanya membuat sebuah bangunan terlihat kokoh tetapi pada dasarnya rapuh. Maka inilah yang mesti dipecahkan terlebih dahulu. Bagaimana membangun sebuah kesadaran kolektif. Kesadaran yang menguatkan. Agar tercipta sebuah kerjasama yang baik. Agar tercapai sebuah cita-cita bersama.

Selasa, 17 Mei 2011

Gadis Di Sarang Penyamun

Itu yang tiba-tiba terpikir dalam benak saya ketika mendapati saya berhenti sendiri di lampu merah, ketika orang-orang dengan cueknya dan mungkin tanpa merasa bersalah menerjang lampu perempatan jalan yang jelas-jelas menyala merah.

Saya tiba-tiba juga ingat betapa teman-teman saya seringkali menyarankan kepada saya agar ikut tes CPNS tahun ini. Saran yang sama dari saudara-saudara, kenalan-kenalan, pada tahun-tahun sebelumnya. Dan saya senantiasa menolaknya dengan halus. Jika melihat
salary-nya saya pasti tergiur. Belum lagi jaminan hari tuanya. Tapi entahlah, saya kok merasa belum sreg.

Seorang teman, lulusan S1 Akuntansi dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, diterima menjadi seorang CPNS tahun kemarin. Komentar pertamanya ketika masuk kerja adalah, "...aku disini cuma ngentang ga ada kerjaan."Di lain hari dia berkata "...kuliah bertahun-tahun cuma disuruh masukkan tabel gaji. Kalau cuma begini mah, ga perlu S1 Akuntansi". Dan di lain hari lagi, "....sesibuk-sibuknya kerja PNS tetap masih sibuk kerja normalnya di swasta." Komentar yang hampir sama muncul dari saudara saya yang juga PNS, "...sehari-hari cuma baca koran, ngobrol, sambil nunggu waktu pulang." Dan konon, dengan "pekerjaan" yang seperti itu, mereka bergaji awal sekitar 1,7 juta. Wow, fantastis!!

Sebuah pertanyaan dilontarkan teman saya ketika menerima uang "sisa" dari sebuah kegiatan seminar yang diadakan instansinya, "...apa yang harus saya lakukan dengan uang ini? Sedangkan semua orang juga menerimanya, dan hal semacam ini memang sudah jadi kebiasaan?" Saya termenung dibuatnya. Jika teman saya mngembalikan uang itu - karena menurut saya uang itu adalah milik negara yang berasal dari rakyat - maka ia akan menjadi orang yang dikucilkan. Tetapi jika tidak dikembalikan, sungguh rasanya seperti menghianati amanah yang diberikan rakyat kepada pelaksana pemerintahan negeri ini. (dan apakah ini tidak bisa disebut sebagai korupsi uang rakyat?)

Itu adalah dua buah gambaran tentang Gadis di Sarang Penyamun. Bagaimana seseorang mempertahankan sebuah idealismenya, sedangkan ia dikepung oleh situasi, lingkungan, kondisi, yang justru bertentangan dengan amanat idealisme itu. Saya pikir kita semua pernah mengalami hal semacam itu. Itu jika Anda juga mau memperhatikan apa kata nurani Anda. Situasi semacam itu sedikit banyak akan kita jumpai. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Jika Anda termasuk orang-orang yang menghargai diri Anda sendiri, sudah pasti Anda akan mengatakan YA untuk kebanaran, dan TIDAK untuk perbuatan yang bertentangan dengan nurani Anda. Kendati mungkin - dan hampir pasti - Anda akan tersisihkan, terkucil, dimusuhi, dipojokkan, dianggap sok suci, tidak realistis, dan berbagai julukan omong kosong lainnya. Anggap saja angin lalu. Sulit? Pasti. Terutama bagi Anda yang bernyali ciut. Atau Anda berhadapan dengan sebuah sistem bobrok yang sudah menjadi legal. Atau Anda berhadapan dengan orang-orang besar. Dan besar kemungkinan pendirian Anda akan mengancam posisi Anda, masa depan Anda, keluarga Anda, dan seterusnya.

Atau Anda memilih untuk bermain aman. Menjadi seorang Penyamun pula? Berprinsip Dimana Langit Dijunjung Disitu Bumi Dipijak? Hemm...Semua itu memang menjadi pilihan Anda. Tetapi yang pasti, kita diciptakan untuk menjadi seorang idealis. Kita diciptakan untuk menjadi seorang pejuang. Jika tidak, mengapa kita masih dianugerahi hati nurani? Jika tidak, mengapa kita masih dianugerahi akal pikiran?

"Dan sesungguhnya tidaklah Kami ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia."

Cahaya Di Langit Malam

Maka tiba-tiba aku melihat cahaya bergemerlapan
Bertaburan di atas langit dunia
Aku bertanya apakah itu pelita surga
Yang minyaknya saja hampir-hampir sudah cukup
Untuk menerangi seluruh semesta
Di barat dan di timur?

Dengan wangi kesturi
Lalu sungai-sungai mengalir di bawah kakiku
Di bawah lantai-lantai kaca bening selaiknya embun
Seperti istana Nabi Sulaiman
Dimana Ratu Saba’ pernah terkecoh dibuatnya

Lalu daun-daun yang luasnya sepertiga bumi
Menopang jiwa-jiwa dalam bola-bola kristal yang melayang
Dari sebuah pohon kehidupan
Yang akarnya menghunjam sampai ke dasar semesta
Dan rimbun daunnya nyaris saja menyentuh surga

Aku bermimpi tentangnya

Sejenak aku terkesima pada gemerlap cahaya itu
Dan membayangkan betapa surga telah membuka pintunya

Kiranya pesawat-pesawat terbang
Berlalu lalang mengangkut penumpang
Lampunya berkedip-kedip membangkitkan khayalku

Seperti halnya basah kakiku
Karena aku berdiri di tengah sungai di antara hamparan sawah
Dan rindang pohon kamboja nun jauh di sana
Diterpa angin malam yang deras
Seakan-akan menamparku dan menyadarkanku

Kiranya surga masih jauh dari jangkauku
Tapi bolehlah aku berkhayal berolehnya…

The Caliphates

Ada keharuan yang menyelusup ketika membaca sejarah para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka adalah orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Allah. Mereka adalah sahabat-sahabat utama Rasulullah, orang-orang yang mengasihi dan dikasihi oleh Rasulullah. Namun sungguh, jalan yang harus mereka lalui berbeda dari jalan teladan mereka, Muhammad SAW.

Jika Nabi menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir, penentangan terhadap ketauhidan Allah, maka mereka menghadapi orang-orang munafik. Mereka menghadapi sesama Muslim, tetapi jalan hidupnya jauh dari sebutan seorang Muslim. Mereka harus berbenturan dengan politik dan kekuasaan. Bukan lagi tentang bagaimana menegakkan La ilaha illallah di muka bumi. Namun justru dari dua hal itulah – politik dan kekuasaan –awal segala perpecahan, fitnah, dan permusuhan diantara sesama muslim itu terjadi.

Umar dibunuh oleh seorang budak yang depresi. Utsman dibunuh oleh umat muslim sendiri. Demikian pula dengan Ali. Sungguh ironi. Ketika seruan La ilaha illallah telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, umat manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, tetapi justru di jantung kekuasaan Islam sendiri, diantara keberadaan para sahabat senior Nabi, para khalifah yang mendapat petunjuk ini justru dibunuh. Oleh umatnya sendiri! Inna lilahi wa inna ilaihi rajiun.

Membaca lembar demi lembar sejarah kehidupan para Khalifah ini, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a, ada sebuah harapan yang membumbung tinggi. Bahwa umat Islam akan memperoleh kejayaan. Yaitu berhasil menegakkan dan menyebarkan kalimat La ilaha illallah di seluruh muka bumi, mengajarkannya kepada seluruh manusia sehingga semua orang akan mendapat petunjuk Allah, serta mampu memimpin dunia, menguasainya dengan penuh keadilan.

Membaca sejarah Khalifah Umar bin Khattab r.a yang begitu zuhud dan mengagumkan, membuat saya semakin optimis akan umat Islam. Saya sering dibuat terharu dengan sikap Khalifah Umar yang begitu bersahaja dan bijaksana. Namun akhir kehidupannya yang menyedihkan membuat jantung saya serasa berhenti sejenak. Timbul pertanyaan, lalu setelah ini apa? Dan terngiang sabda Nabi SAW, Sesungguhnya engkau (Umar) adalah pembeda / batas antara kebaikan dan fitnah. Jika engkau terbunuh, maka pintu fitnah itu akan terbuka selamanya. Kurang lebih demikian.

Kemudian itulah yang terjadi. Khalifah Utsman memulai hari-harinya dengan sangat berat. Gelombang fitnah menerjang kemana-mana. Demi menegakkan kekhalifahan Islam yang meliputi berbagai penjuru negeri, menjaga stabilitas khilafah Islam, beliau menunjuk saudara-saudaranya untuk menduduki berbagai jabatan di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Karena hanya dengan saudara-saudaranya itulah beliau percaya dan merasa aman. Namun ternyata kebijakan itu justru menimbulkan fitnah-fitnah baru. Bukannya mendapat dukungan dari masyarakat luas, beliau justru dituduh berusaha melanggengkan kekuasaan untuk keluarganya sendiri.

Tuduhan ini paling tidak ada dua macam. Pertama, tuduhan atau mungkin lebih tepatnya kritikan dari para sahabat senior Nabi, yang khawatir atas ketidak-demokratisan sikap Utsman. Karena bagaimanapun, banyak pula orang Islam lain –selain keluarga Utsman - yang cukup cakap untuk mengemban sebuah amanah kekuasaan. Kritikan ini lebih pada upaya mengingatkan Utsman agar jangan menggali kuburnya sendiri. Kedua, tuduhan dari orang yang menghendaki kekuasaan. Mereka berharap dapat memperolah jabatan tertentu dari apa yang telah mereka perbuat “untuk Islam”. Ketika jabatan-jabatan ini kemudian kebanyakan hanya dialamatkan kepada keluarga Utsman, merekapun menjadi berang.

Akhir drama dari semua fitnah ini adalah pengepungan rumah Khalifah Utsman oleh para pemberontak yang kemudian berakhir pada pembunuhan Khalifah yang terkenal sabar dan penyayang ini. Beliau rela menjadi martir atas semua fitnah yang terjadi di kalangan umat Muslim waktu itu. Beliau mencegah para sahabat Nabi lainnya untuk membantu dan melindunginya, karena kasih sayangnya pada mereka semua.

Lembaran terakhir dari sejarah para Khulafa’ur Rasyidin adalah perjalanan berat yang harus ditempuh oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Beliau harus menghadapi situasi sulit berkaitan dengan pembunuhan Khalifah Utsman. Beliau kemudian juga dirongrong oleh golongan Khawarij, para pemberontak yang sebelumnya adalah para pendukungnya, yang kemudian berbalik arah menyerangnya. Dan yang paling utama, beliau juga harus berhadapan dengan sahabat Nabi lainnya, sekaligus anggota keluarga Utsman, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. Konflik terakhir ini lebih bersifat perebutan kekuasaan. Yang kemudian juga berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali.

Sungguh, semua drama itu membuat saya merenung tajam. Bahkan terkadang seperti seseorang yang hendak menggapai bintang di tengah tanah lapang. Saya berpikir, jika perselisihan yang terjadi di masa-masa awal Islam saja sudah seperti itu, padahal diantara mereka banyak orang-orang saleh, para sahabat nabi yang mendapat didikan langsung dari Sang Rasulullah mulia, lalu bagaimana dengan kita, yang hidupnya jelas-jelas jauh dari masa itu? Yang kesalehannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan para sahabat Nabi? Yang tantangannya jauh lebih berat daripada masa-masa itu? Apa yang akan terjadi pada kita?

Saya tidak ingin berputus asa. Tapi jantung saya sudah terasa robek merasakan kepiluan yang terjadi pada masa-masa awal Islam tersebut. Sedih. Dan saya merasa begitu lelah….

Kejujuran Yang Memberuntungkan

Saya ingat sebuah film yang sangat menarik bagi saya, yaitu Forrest Gump. Anda pernah menontonnya? Tokoh dalam film ini adalah seorang pemuda bodoh / idiot yang bernama Forrest Gump. Meskipun bodoh / idiot, ia menyadari bahwa dirinya bodoh. Salah satu yang paling berkesan bagi saya dari tokoh ini adalah kepatuhannya pada orang tua. Apapun perkataan ibunya (ia tak punya bapak lagi), selalu ia turuti. Karena ia percaya ibunya akan mengatakan hal yang benar kepadanya.

Hal lain yang juga menarik perhatian saya dari tokoh ini adalah kejujurannya. Ia tak perduli apa perkataan orang tentang dirinya, ia tetap berlaku jujur. Kesadarannya bahwa ia bodoh, adalah bentuk paling awal dari kejujurannya. Kepada diri sendiri. Dan menariknya, kejujurannya itu seringkali memberikan keberuntungan kepadanya. Hingga ia berhasil mencapai puncak karirnya, yang ia sendiri, atau siapapun tak akan mengira. Bahwa seorang yang bodoh itu bisa mencapai sebuah kesuksesan yang seringkali diimpikan oleh orang-orang cerdas.

Kisah lain yang juga sangat luar biasa adalah kehidupan Muhammad bin Abdullah. Tak perlu diragukan lagi ia adalah salah satu orang terjujur yang pernah terlahir ke dunia. Jika Forrest Gump adalah tokoh rekaan, maka Muhammad bin Abdullah adalah tokoh nyata yang pernah hidup diantara manusia lainnya. Oleh kaumnya Muhammad diberi gelar Al Amin, yang berarti Yang Terpercaya. Sejak kecil ia selalu bersikap jujur dan santun kepada siapa saja. Ketika terjadi perselisihan diantara kaumnya, ia pulalah yang ditunjuk untuk menyelesaikan permasalahan itu. Padahal usianya saat itu masih muda.

Muhammad terlahir dari keluarga yang terhormat, memiliki harta yang tidak sedikit. Namun gelar yang disandangkan kepadanya bukanlah karena keluarganya, bukan karena hartanya, melainkan karena sifatnya yang bisa dipercaya/jujur. Bahkan seseorang menuturkan bahwa “...jika engkau menitipkan barang kepadanya, ia tak akan menyentuhnya sedikitpun. Jika engkau menitipkan istrimu agar ia menjaganya, sedikitpun ia tak akan melirik istrimu.” Yang luar biasa perkataan ini justru muncul dari orang yang memusuhi Muhammad! Mungkinkah Anda menemui hal semacam itu pada masa sekarang ini?

Ketika beranjak dewasa Muhammad ikut sebuah kafilah dagang menuju Syam yang dipimpin oleh seorang janda kaya bernama Khadijah. Sebagai pedagang Muhammad tetaplah dikenal sebagai orang yang jujur. Ia akan mengatakan kepada calon pembelinya mengenai barang yang dijajakannya secara jujur. Bila barangnya baik, ia akan mengatakan baik. Bila barangnya dalam kondisi buruk, ia pun tetap mengatakannya. Tak heran banyak pembeli yang justru terpikat dengan cara dagangnya itu. Sehingga pada saat kembali ke tempat asalnya, Mekah, Muhammad memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Akhir cerita, majikannya pun juga terpikat dengan budi pekerti Muhammad, hingga ia pun meminta agar Muhammad bersedia menikah dengannya.

Lihatlah, cerita-cerita luar biasa ini bermula dari satu kata. Kejujuran. Dengan kejujuran inilah mereka-mereka memperoleh keberuntungan. Oleh karena itulah judul tulisan saya ini adalah “Kejujuran Yang Memberuntungkan”, bukan “Kejujuran Yang Menguntungkan”. Apa bedanya? Menguntungkan berarti memperoleh keuntungan. Keuntungan adalah sesuatu yang bisa diupayakan untuk diraih. Keuntungan bersifat disengaja. Ada target. Dengan perhitungan tertentu, keuntungan yang dikehendaki / ditargetkan bisa terealisasi. Meski kadang meleset, bisa lebih baik atau lebih buruk, namun tetap saja keuntungan itu ada perhitungannya.

Memberuntungkan berarti memperoleh keberuntungan. Apa yang Anda pikir tentang keberuntungan? Jika saya berkata, orang itu beruntung, apa yang terlintas di pikiran Anda? Kondisi beruntung sering dimaknai dengan memperoleh keuntungan yang tak disengaja. Seseorang tak berniat/berpikir memperoleh keuntungan, tetapi ternyata ia memperoleh keuntungan. Ini disebut sebagai keberuntungan. Begitu juga dalam kisah-kisah di atas. Mereka, Forrest Gump ataupun Muhammad, tidak berpikir bahwa mereka akan memperoleh keuntungan dari sikapnya, jujur. Mereka melakukannya hanya karena mereka tahu bahwa sikap itu adalah sikap terpuji, sesuai dengan nurani, sangat layak untuk diapresiasi dan diamalkan.

Mereka tidak hendak “memperjualbelikan kejujurannya” dengan harta benda, jabatan, prestise, ataupun kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Tidak. Mereka tidak berniat seperti itu. Mereka berpikir, merasa, bahwa jujur itu indah. Fitrah manusia adalah menyukai keindahan. Mereka mendengarkan kefitrahan mereka. Mereka mengikutinya. Maka keberuntungan pun menyertai mereka. Bagaimana dengan Anda? Anda percaya? Silakan lakukan, dan buktikan!

Jumat, 18 Maret 2011

Karena Hidup Bukan Pilihan

Kebanyakan orang mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, Tetapi saya justru ingin mengatakan sebaliknya, bahwa hidup bukanlah sebuah pilihan. Mengapa demikian? Sebenarnya ada dua hal berbeda dalam permasalahan ini.

Benar memang, bahwa hidup adalah pilihan. Tetapi itu berlaku dalam penyikapan suatu hal. Sedangkan dalam menghadapi kenyataan hidup, maka hidup yang kita jalani bukanlah sebuah pilihan. Coba renungkan, pernahkah Anda bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga terpandang, bangsawan misalnya? Bisakah Anda memilih terlahir sebagai laki-laki? Bisakah Anda membuat pengecualian bahwa ketika tangan Anda dibakar, maka tangan Anda tidak terbakar meskipun orang lain bisa terbakar? Bisakah Anda memilih untuk bernafas lima menit sekali?

Semua pertanyaan-pertanyaan diatas, dan banyak pertanyaan lainnya, menunjukkan bahwa kita harus menerima kenyataan. Bahwa Anda terlahir sebagai perempuan misalnya, maka Anda tak bisa menolaknya. Bahwa Anda tidak bisa tidak bernafas barang sekejab saja, Anda tak bisa mengingkarinya. Ini semua kenytaan. Yang perlu kita lakukan adalah menerimanya, karena segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik bagi diri kita.

Lalu apa selanjutnya? Anda perlu menentukan sikap atas kejadian-kejadian yang menimpa Anda, realitas/takdir yang terpampang di hadapan Anda. Dan disinilah lapangan pilihan hidup itu berlaku. Anda bebas memilih sikap apa yang Anda ingin ambil menghadapi realitas. Keputusan ada di tangan Anda, dan tentu saja ada sebuah konsekuensi logis yang melekat dari setiap keputusan tersebut. Bagaimana?

Sabtu, 05 Februari 2011

Pujaan Hati

Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Takut-takut kucuri pandangan padanya. Tapi dia diam saja. Mungkin dia tak melihatku.

Tiap hari, untuk sesaat, aku berhenti di trotoar itu. Memandangnya walau hanya sekejab. Aku tak berani terlalu lama. Takut orang mencemoohku. Mereka mungkin mengatakan aku tak pantas untuknya. Ya. Aku sadar itu. Siapalah aku ini?

Aku hanya bekerja serabutan. Upahku tak menentu. Tapi….aku begitu ingin memilikinya. Aku ingin mendekatinya. Tapi apa mungkin? Apa dia sudi menemuiku?
Tapi gejolak hatiku begitu menginginkannya…

Dia begitu mempesonaku. Dia memancarkan aura yang tak pernah kujumpai pada yang lain. Dan aku hanya bisa menatapnya. Dia selalu di sana. Di dalam toko itu. Seperti sedang menanti sesuatu. Apakah itu aku? Apakah dia menantiku?

Ah, mana mungkin. Mengenalku saja tidak. Aku yang berpakaian lusuh ini, mana mungkin menarik perhatiannya. Meski aku begitu berharap ada sebuah keajaiban, dimana aku bisa mendekatinya, memilikinya. Andai saja.

Beberapa hari ini aku telah mengumpulkan uang dari hasil keringatku. Tidak banyak memang. Tapi lumayan. Aku berharap ini bisa buat bekal bagiku untuk mendekatinya. Syukur-syukur cukup untuk menarik perhatiannya Sehingga aku bisa memilikinya.

Meski dengan hati bimbang, deg-degan, hari ini aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku tak mampu lagi memendam keinginanku. Aku masuk ke dalam toko itu. Menemui pemilik toko yang memandangku dengan enggan. Lalu aku bertanya kepadanya. “Pak, Browniesnya sepotong harganya berapa?”

Bias Kehidupan

Saya mendengarkan saja cerita sahabat saya, yang menceritakan perkataan teman saya yang lain, yang berkomentar tentang pernyataan saya. Saya terhenyak. Berita itu membuat saya harus menarik nafas panjang. Berat sekali. Saya enggan untuk mempercayai perkataan sahabat saya itu. Tapi saya cukup mengetahui kualitas dirinya, sehingga rasanya tak mungkin bila ia hendak bermain-main dengan saya. Terlebih lagi setelah beberapa waktu saya mendengar kabar serupa dari teman-teman saya yang lain.

Hal yang ingin saya sampaikan disini adalah tentang bias. Waktu itu saya mengatakan tentang hal A. Tetapi teman saya yang membiaskan perkataan saya tersebut menyampaikan ke teman yang lain seolah-olah saya mengatakan B. Saya tahu bahwa ia tidak hendak memfitnah saya, karena kami dulunya adalah teman dekat. Tetapi ia bias. Ia menuruti emosinya terlebih dulu, sehingga tidak bisa mencerna perkataan saya dengan benar. Beberapa sahabat saya yang lain ternyata juga mengalami hal yang sama dengan saya, perkataan atau sikapnya ditanggapi dengan bias. Oleh teman saya yang bias itu, atau oleh yang lainnya.

Beberapa lama akhirnya saya menyadari, betapa dalam kehidupan ini memang seringkali terjadi bias. Sesuatu yang lurus menjadi bengkok, sesuatu yang benar akhirnya menjadi salah, karena terjadi bias.

Saya ingat, dalam film The Sixth Sense, ada sebuah perkataan salah seorang tokohnya yang berbunyi, “Kau hanya melihat apa yang ingin kaulihat, bukan yang seharusnya terlihat”. Inilah akar dari bias. Kita seringkali melihat kenyataan pada apa yang ingin kita lihat dari kenyataan tersebut. Kita melihat persepsi kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. Kita melihat sebuah peristiwa buruk yang menimpa kita sebagai sebuah keburukan dalam hidup kita, padahal jika kita mau melihatnya lebih seksama, sebenarnya peristiwa itu justru akan membawa kebaikan pada diri kita. Bukankah hal semacam ini sering terjadi pada kita?

Serupa dengan apa yang telah disampaikan Al Qur’an, ....ketika terjadi keburukan pada mereka, mereka mengatakan “Tuhanku mengabaikanku”. Dan bila terjadi hal yang baik pada mereka, mereka mengatakan “Tuhanku memuliakanku”.

Bias semacam inilah yang seringkali akhirnya mencelakakan kita. Kita seperti mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak patut kita kejar. Kalau dalam film Home Alone (yang keberapa saya lupa), si kecil Kevin mengejar seorang laki bermantel seperti ayahnya di bandara. Ia mengira lelaki itu ayahnya. Dan ternyata bukan. Ketika ia menyadari kesalahannya, semua sudah terlambat. Ia tak bisa lagi menemukan ayahnya. Karena mereka menuju arah yang berbeda.

Maka alangkah lebih bijaknya ketika kita menerima sebuah informasi, mendengar atau melihat perkataan, sikap, peristiwa, atau apapun itu, kita melihat dari berbagai sudut secara komprehensif. Mengkonfirmasi ulang, mengklarifikasi kebenaran informasi itu, agar kita tidak salah arah. Agar kita tidak menyakiti orang lain. Agar kita tidak menjadi orang yang sesat dan menyesatkan.

Sabtu, 29 Januari 2011

Waktu

Entahlah. Rasanya baru kemarin saya menikmati akhir pekan. Dan hari ini sudah akhir pekan lagi. Waktu rasanya benar-benar begitu cepat berlalu. Detik demi detik. Menit demi menit. Jam berganti jam. Hari, minggu, bulan tahun. Semuanya begitu cepat.

Mungkin karena kesibukan kerja lah yang membuat saya merasa seperti itu. Pagi, saya berangkat pukul 6. Pulang sampai rumah seringkali sekitar pukul 4 sore, meskipun seharusnya saya sudah bisa pulang pukul 2, dan sampai rumah pukul 3. Perjalanan dari rumah ke kantor memakan waktu 1 jam. Tapi bila pekerjaan memang masih menumpuk, rasanya begitu sayang jika tidak segera saya selesaikan. Jangan dibayangkan kalau saya pulang telat berarti saya akan dapat uang lembur. Di tempat saya bekerja tidak demikian. Terutama karena saya termasuk orang manajemen. Artinya, selama sebuah pekerjaan itu masih menjadi tanggungjawab saya, maka jam berapapun saya pulang tidak akan dapat uang lembur.

Saya tidak mengeluh karena itu. Mungkin karena sudah terbiasa. Mungkin karena sejak awal saya sudah tahu hal itu. Mungkin karena niat saya sejak awal bekerja di tempat kerja saya itu adalah untuk ikut membantu, mengawal agar instansi saya tersebut bisa tumbuh menjadi besar. Saya berharap ini adalah hal yang baik. Saya berharap perasaan itu, pikiran semacam itu terus ada dalam diri saya.

Tapi yang terpenting dari hal ini adalah ketika tiba-tiba datang pertanyaan dalam diri saya ; sudahkah saya mengisi waktu saya dengan kegiatan-kegiatan yang berguna?

Waktu begitu cepat berlalu. Umur menjadi semakin pendek. Semakin dekat pula saat kita untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Akankah kita kelak bertemu dengan-Nya sambil tersenyum? Ataukah kita datang dengan rasa takut yang luar biasa, yang tak pernah kita rasakan sekalipun di dunia ini?

Kita tak pernah tahu. Kita tak pernah bisa menerka jalan hidup kita. Kita tak bisa mengira-ngira seperti apa akhir hidup kita. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengisi waktu kita dengan kegiatan yang baik, bermanfaat bagi kita ataupun orang lain. Lalu biarkan Dia yang akan menuntun kita. Semoga kita selalu mendapat petunjuk-Nya.

Drama

Membaca Novel Angel & Demons karya Dan Brown membuat saya menyadari sesuatu. Drama. Ya. Betapa banyak drama dalam kehidupan kita. Dengan akhir yang bahagia, klise, atau pun penuh tanda tanya.

Angel & Demons menceritakan salah satu drama yang paling memilukan menurut saya. Mengapa? Karena drama itu tercipta dari sebuah misi. Yang konon misi itu adalah ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Demi mendekatkan diri kepada Tuhan, demi sebuah cita-cita agar umat kembali kepada Tuhannya, seorang pastor rela menciptakan sebuah bencana. Yang di dalamnya terdiri dari berbagai peristiwa, pilu, mengorbankan banyak nyawa.

Ironi rasanya. Tujuan mulia harus dilalui dengan cara yang sadis. Inilah sebabnya saya mengatakan bahwa drama yang terjadi dalam Angel & Demons adalah salah satu drama yang paling memilukan.

Namun demikian, drama ini membuka mata saya, bahwa betapa dekat cerita itu dengan realita kehidupan kita, atau realitas berbagai peristiwa di dunia sejak dulu. Salah satu drama mengerikan yang belum terlalu lama terjadi adalah tragedi 9/11. Berbagai analisis dan pengamatan menyebutkan bahwa 9/11 adalah sebuah skenario yang dirancang Yahudi untuk memojokkan Islam. Seolah-olah Islam lah yang melakukan terorisme itu. Seolah-olah Islam adalah agama yang merusak. Ajaran yang berisi permusuhan, kebencian dan sebagainya.

Dan ternyata skenario ini cukup berhasil. Di seluruh penjuru dunia, orang Islam dimusuhi (terutama Islam yang minoritas). Mereka dibenci, diserang, diperlakukan tidak adil, dilecehkan, seolah-olah menjadi Muslim adalah sama dengan menjadi seorang penjahat, seorang yang hina.

Namun semua tindakan permusuhan terhadap Islam tersebut tidak dibalas oleh masyarakat Muslim. Memang ada sejumlah tindakan radikal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim tertentu untuk membalas perlakuan tidak adil yang mereka terima. Namun hal ini segera dimentahkan oleh Muslim lainnya. Bahwa tindakan perusakan, radikalisme, yang dilakukan sejumlah kelompok Islam garis keras itu bukanlah cerminan sikap seorang Muslim. Bahwa Muslim sejati tidak akan melakukan kekerasan. Apalagi terhadap orang yang tak berdosa. Bahkan kepada masyarakat yang jelas-jelas berbuat zalim. Lihat saja contoh Nabi SAW ketika beliau diludahi, dimusuhi, dilempari batu oleh masyarakatnya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, maafkanlah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”

Yang kemudian terjadi adalah masyarakat dunia menjadi bertanya-tanya, sebenarnya seperti apa sih sesungguhnya Islam itu? Lalu berbondong-bondonglah orang mempelajari Islam. Lalu berduyun-duyunlah orang masuk Islam. Muslim-muslim baru ini ternyata akhirnya menjadi orang-orang yang paling perduli, paling membela Islam ketika Islam diserang. Subhanallah. Hal ini yang (mungkin) tidak diprediksi dalam skenario Yahudi untuk menghancurkan Islam.

Jauh sebelumnya, pendirian Negara Israel juga merupakan sebuah drama. Konon, bertahun-tahun skenario itu dibangun. Mulai pemilihan lokasi, strategi, waktu, sarana dan seterusnya. Lalu mulailah orang-orang Israel membeli tanah di tepi-tepi negeri Palestina dan sekitarnya. Lalu mulailah mereka mengisolasi warga Palestina di dalamnya. Lalu mulailah senjata-senjata didatangkan. Lalu mulailah invasi itu. Lalu mulailah segala kekacauan di Palestina yang tak juga berhenti sampai detik ini.

Holocoust juga sebuah drama. Pembunuhan JF. Kennedy juga drama. Pengucilan Iran dan Korea atas proyek nuklirnya juga drama. Westernisasi di berbagai Negara di dunia juga drama. Berlian darah di Afrika juga drama. Rendahnya moralitas masyarakat Barat juga drama. Munculnya berbagai sekte sesat di seluruh dunia juga drama. Reformasi di Indonesia juga drama. Dan masih banyak lagi drama-drama di dunia.

Banyak diantara drama-drama itu ditulis dan disutradarai oleh Yahudi. Ini yang saya acungi jempol. Dalam arti, betapa mereka memang orang-orang jenius di dunia ini. Sayangnya kejeniusan mereka ini tak lebih digunakan untuk membuat kerusakan dan kekacauan di dunia. Tapi kita tak perlu khawatir. karena bagaimanapun sempurnanya sebuah skenario yang disusun oleh manusia, selama itu digunakan untuk kejahatan / keburukan, suatu saat Allah pasti akan menghancurkannya. Dalam Al Qur'an juga disebutkan bahwa mereka (Yahudi) akan mengalami kemenangan dan berakhir dengan kekalahan mereka. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, jika selanjutnya adalah giliran kita (Muslim) untuk mengemban amanah memerintah bumi ini, apakah kita telah siap untuk memerintah dunia dengan keadilan, sebagaimana yang telah dijalankan oleh Nabi Saw dan Khulafaur Rasyidin?

Sabtu, 22 Januari 2011

Kabut

Orang-orang berkerumun dan berteriak-teriak. Ada apa? Maling?
Sepertinya bukan.

Ada yang berlarian kesana kemari. Mengucapkan sesuatu. Minta tolong. Kebakaran?
Tampaknya juga bukan itu.

Lalu wanita-wanita menjerit. Anak-anak menangis. Ada apa sebenarnya? Bencana alam?
Aku tak yakin.

Perlahan. Aku lihat wajah orang-orang. Memandangku heran? Kok aneh. Bukankah seharusnya aku yang heran. Apa yang mereka lakukan?

Tapi sepertinya tatapan itu bukan heran. Tanda tanya? Apa ada bedanya tanda tanya dengan heran? Tanda tanya digunakan untuk sebuah klarifikasi, memperjelas sesuatu hal. Sedangkan heran adalah ekspresi dari sebuah kekaguman, keterkejutan atas sesuatu yang tak biasa atau tak lazim menurut pemikiran orang-orang atau seseorang.

Emm…rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas kosakata itu, kendati aku yakin aku bisa menjelaskannya lebih banyak.

Tapi yang aku yakin, orang-orang berlarian, berkerumun, memandang, di satu titik. Aku. Ada apa denganku? Apa aku orang aneh? Rasanya tidak. Yah, teman-temanku mengatakan aku agak terlalu bersolek beberapa hari ini. Tapi itu bukan hal yang jelek kan. Aku melihat di tv banyak lelaki yang bersolek. Dan itu tak menjadi masalah. Kenapa buatku jadi masalah? Toh, aku hanya menggunakan minyak rambut agar rambutku yang mulai memutih terlihat agak hitam dan klimis. Itupun tiga hari sekali…

Aku masih tak yakin orang-orang ini mendekatiku karena gaya bersolekku. Mungkin karena bawaanku yang terlampau banyak, dan mereka tak suka melihatku terlihat “sibuk”? Tunggu dulu, bawaanku ini berharga. Semuanya. Jangan-jangan mereka mau merampokku. Waduh! Coba kuingat-ingat. Beberapa hari yang lalu aku melihat film tentang bela diri di rumah temanku. Aku ingat beberapa gerakannya. Kukira aku bisa menggunakannya jika orang-orang ini mencoba mengambil bawaanku. Tapi mereka terlalu banyak. Apa aku bisa menghadapinya sendirian?

Tiba-tiba aku kok tidak tenang dengan semua pandangan mata orang-orang itu. Sepertinya mereka juga mengucapkan sesuatu. Tapi apa? Ah, apakah aku setuli itu. Tak bisa mendengar sedikitpun kata-kata mereka. Padahal tadinya bisa lo!

Pandangan mataku juga agak kabur. Sebentar jelas, sebentar hilang. Aku tadi memang sempat minum aspirin. Tapi itu dua jam yang lalu. Masak masih bereaksi sih?

Kok sepi ya. Aku merasa dingin. Jam berapa sekarang? Aku harus menjemput anakku. Aku mau melihat jam tanganku. Hei, aku mau melihat jam tanganku! Kenapa tanganku tak bisa digerakan? Kulirik sekilas ke tanganku. Tunggu dulu. Kenapa aku terbaring? Darah? Di tanganku? Bajuku? Kakiku? Dimana-mana? Tubuhku penuh darah? Ada apa? Motorku tergeletak begitu saja. Sekilas kulihat cukup berantakan.

Astaga!! Aku baru sadar. Aku tadi melihat truk. Di depanku. Aku sedang melintas. Aku tak bisa menghindar.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku yakin masih di sakuku. Ya. Coklat itu. Untuk anakku. Hanya sebulan sekali aku membelikannya. Aku tak punya uang. Tapi sebulan sekali sudah cukup untuk membuat anakku terlonjak-lonjak kegirangan. Aku menyeberang setelah membelikan coklat untuk anakku.

Ah, aku juga baru sadar. Ternyata orang-orang berteriak meminta bantuan medis untuk menolongku. Ternyata wanita-wanita menjerit, anak-anak menangis karena ngeri melihat keadaanku. Ternyata…

Aku tiba-tiba merasa pusing. Dingin sekali rasanya. Kabut mulai turun di pelupuk mataku. Maaf, nak. Sepertinya bapak tak bisa membawakan coklat untukmu kali ini….

Sabtu, 15 Januari 2011

Tentang Apa?

Pertanyaan itu seringkali muncul ketika saya hendak menulis sesuatu. Baik berupa essay, cerpen, puisi atau lainnya. Bingung. Mungkin hampir semua penulis pernah mengalami hal itu. Mungkin. Tapi seiring bertambahnya jam terbang, pertanyaan itu akan semakin jarang terpikirkan. Yang ada hanyalah “aliran pikiran”.

Ya. Apa yang ada di pikiran kita bisa kita tuang, kita alirkan begitu saja. Saya begitu terpesona dengan kata-kata ini ketika saya membaca tulisan Pak Hernowo – salah seorang pakar Quantum Writing Indonesia – yang membahas mengenai “Flow”. Mengalir, atau aliran pikiran.

Menulis dengan jalan mengalirkan, menumpahkan apa saja yang ada di dalam pikiran kita rasanya memang akan sangat nikmat. Menyegarkan! Kita tidak lagi terbebani dengan kata-kata yang harus kita rangkai. Kita tidak lagi harus dipusingkan mengenai tema. Kita tidak perlu dipusingkan mengenai bagaimana tanggapan orang lain atas tulisan kita. Terserah orang lain mau menilai seperti apa. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan tugas kita sebagai penulis. Menulis!

Tapi bagaimana seseorang bisa menuliskan apa yang ada di pikirannya? Apa memang semudah itu?

Awalnya mungkin memang tidak mudah. Apalagi bagi yang tidak pernah menulis. Mungkin akan terasa kaku, hambar, kosong. Atau tulisannya akan terlihat menyebalkan, membosankan, omong kosong, bikin ngantuk, dan seterusnya. Tapi itu sebuah awal yang bagus. Teruskan saja. Semakin sering kita menulis, semakin ahli pula kita mengungkapkan pikiran kita.

Setiap kita pasti juga pernah bertanya jawab dengan diri kita sendiri. Tentang tindakan yang harus kita ambil. Tentang benar salah. Tentang rasa marah atau sedih. Tentang kegalauan, dan seterusnya. Dialog dalam pikiran kita itu sebenarnya modal dasar bagi kita untuk menulis. Ya. Tulis saja semua tanya jawab itu. Tak perlu risau hasilnya tidak bagus. Masalah koreksi itu belakangan. Yang penting tulis saja dulu. Dan dari pengalaman saya, ternyata menuliskan apa-apa yang menjadi pertanyaan dalam diri kita justru membantu kita untuk menjawab pertanyaan itu sendiri.

Sebagian penulis yang sudah berpengalaman juga menyarankan untuk menulis segala sesuatu yang kita jumpai di sekitar kita. Mungkin kita menemukan hal menarik ketika di jalan, di rumah atau dimanapun. Tentang orang-orang yang kita jumpai. Tentang kendaraan. Tentang teknologi yang membutakan kita. Tentang waktu yang merenggut kita. Tentang cinta yang terabaikan. Tentang makanan kesukaan. Tentang peliharaan yang menyusahkan, dan apa saja. Semua bisa jadi bahan tulisan.

Yang pasti, usahakan ketika menulis, jadilah diri sendiri. Tak perlu lah kita menggunakan kata-kata yang muluk-muluk, yang puitis (kecuali kalau memang sastra ya), yang aneh-aneh, jika itu semua tidak menggambarkan diri kita, pikiran kita. Rasanya akan menjadi tidak jujur. Kejujuran dalam menulis itu penting, karena itulah yang menjadikan tulisan kita menjadi bernilai. Baik bagi diri kita sendiri maupun bagi siapapun yang membaca tulisan kita. Bagaimana, masih juga bertanya “tentang apa?”

(Bahasan di atas diinspirasi dari tulisan Pak Hernowo yang berjudul “Flow” dalam rubrik Plong di www.mizan.com, tanggalnya saya lupa)

Kamis, 13 Januari 2011

Pengemis dan Anaknya

Entahlah. Saya tiba-tiba merasa tidak terlalu percaya pada mereka. Seorang pengemis. Wanita paruh baya. Dan “anak”nya yang masih kecil dalam gendongannya. Atau dalam genggaman tangannya. Saya memberi tanda petik pada kata “anak” karena saya tidak terlalu percaya juga kalau itu benar-benar anaknya.

Berita-berita yang saya dengar, lihat, baca, membuat saya menjadi ragu dengan “kapasitas” mereka sebagai pengemis. Benarkah mereka memang pengemis? Benarkah mereka meminta-minta karena ketidakberdayaan mereka, kefakiran mereka, kemiskinan mereka? Atau itu hanya sebuah kamuflase? Sebuah perwujudan dari rasa malas mereka? Sebuah bentuk dari kejahiliyahan model baru?

Saya tidak nyaman dengan semua perasaan ini. Seakan-akan saya menuduh orang-orang yang lemah tersebut melakukan penipuan atau kejahatan. Tapi beberapa berita, liputan, reportase, memang menyebutkan demikian. Mengemis tak lagi melulu merupakan sebuah keterpaksaan Tak lagi wujud dari ketidakberdayaan. Melainkan sebuah profesi, pekerjaan yang “berprospek cerah”.

Konon, ada sebuah kampung di salah satu pulau di Indonesia yang semua warganya berprofesi sebagai pengemis. “Profesi” menunjukkan bahwa mereka melakukannya secara profesional (wow!!). Jangan dibayangkan bahwa rumah-rumah mereka berupa gubuk-gubuk reyot dari bambu, triplek, atau tambalan-tambalan kardus. Tidak. Rumah-rumah mereka bisa dibilang bagus. Dengan dinding semen, lantai keramik, cat yang menarik, dan halaman yang cukup untuk menaruh mobil dan sepeda motor.

Mereka tidak tampak sebagai orang yang tidak berpunya. Mereka tidak nampak seperti orang yang lemah tak berdaya. Mereka adalah orang-orang yang sehat jasmani dan rohaninya (?).

Fakta lain yang memperkuat ketidak-percayaan saya kepada mereka adalah ketika lebaran hampir tiba, dapat kita lihat di berbagai sudut kota akan tampak pengemis yang berjalan berderet-deret seperti sedang ada even Jalan Santai Berhadiah. Dan ketika jauh sebelum lebaran atau pasca lebaran mereka menghilang begitu saja. Benarkah kemiskinan datang ketika akan datang lebaran, dan kemudian semua pengemis tersebut menjadi berkecukupan ketika lebaran tlah usai? Sebenarnya fenomena apa ini, dan apa penyebabnya?

Berbagai alasan mungkin dikemukakan, tapi bagi saya ini menunjukkan bahwa orang-orang itu telah kehilangan harga dirinya. Siapapun orang yang mau berpikir jernih pasti tak rela dirinya menjadi orang yang meminta-minta dari satu orang ke yang lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya. Dengan baju kumal dan compang-camping. Orang normal pasti akan malu. Orang akan melakukannya hanya jika sangat terpaksa. Karena kelemahan diri misalnya. Atau kemiskinan yang amat sangat mendera, kendati segala daya upaya telah dikerahkan.

Pengemis-pengemis gadungan itu menderita Sindrom Kemalasan Akut. Coba pikirkan. Mereka rata-rata masih muda, berbadan sehat, diajak bicara masih nyambung, tapi mereka rela berdiri di perempatan-perempatan jalan meminta-minta belas kasihan orang yang berlalu-lalang. Mereka jelas-jelas masih bisa bekerja! Dan ketika mereka pulang dengan membawa “hasil jerih payahnya”, mereka melepas “pakaian kerjanya” dan berdandan necis, kemudian melenggang menuju tempat-tempat hiburan.

Sungguh, rasanya menyakitkan. Dan ini adalah fenomena yang mengerikan. Lebih mengerikan lagi karena mereka mengajak anak-anak mereka, atau anak-anak sewaan, untuk ikut menekuni “profesi” itu. Mereka mengajari sejak kecil generasi-generasi masa depan itu dengan sebuah “profesi yang menjanjikan”! Jika generasi-generasi harapan bangsa ini sejak kecil telah dilatih menjadi orang-orang bermental pengemis, mau dibawa kemana negeri kita ini? Relakah kita kelak, dipimpin oleh “para pengemis”?

Rindu Rasul

Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya Rasul
Serasa dikau disini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya surga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
(Taufik Ismail)

Ya. Rasa rindu. Itulah yang selalu menyeruak dalam hati saya ketika membaca sirah Nabi Muhammad SAW. Kapanpun saya membacanya. Dalam keadaan seperti apapun, rasa rindu itu selalu hadir.

Ketika hati ini sedang “merasa” dekat dengan Allah, maka tatkala membaca sirah Kekasih-Nya, rasa cinta dan rindu itu begitu kuat mencengkeram hati. Tatkala diri sedang “berpaling” dari Allah, maka ketika membaca sirah Sang Nabi, ada rasa rindu yang terus menyelusup dalam hati yang beku, merobohkan dinding-dinding keangkuhan, meluluhkan angkara murka, dan seketika berurai air mata.

Betapa. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia. Beliau adalah manusia biasa. Tapi juga seorang yang terpilih. Beliau menjadi Kekasih Allah. Namanya telah ditinggikan (Dan telah Kami tinggikan sebutanmu – QS. Asy Syarh : 4). Yaitu ketika menyebut Allah, kita mengikutsertakan nama beliau SAW, seperti dalam Syahadat.

Peri kehidupan beliau begitu luar biasa. Dalam keadaan senang atau sedih, tawa dan air mata, semuanya membuat saya kagum dan bangga. Membaca sirah beliau dalam berbagai versi, baik model berstruktur sejarah, tematik, atau novel, semuanya terasa luar biasa.

Ketika ada kisah ketika beliau tersenyum atau tertawa, saya rasanya ingin tertawa bersama beliau. Ketika beliau berurai air mata, saya rasanya ingin bersama-sama beliau berbagi kesedihan dan air mata. Ketika ada kisah tentang kepergian beliau, saya rasanya begitu kehilangan yang tak tergambarkan.

Namun rasanya saya malu sekali, ketika kembali menyadari betapa banyak sunah beliau, ajaran beliau, yang belum saya amalkan. Betapa sering saya mengaku cinta, tetapi melaksanakan ajaran yang paling sederhana pun belum saya lakukan. Ya Allah, berilah petunjuk kepada hamba-Mu ini.

Saya hanya berharap, suatu saat dapat mencium tangan beliau yang penuh berkah dan memandang wajahnya yang bercahaya. Mengikuti sunah beliau sebaik-baiknya, menjadi Muslim yang Kaffah. Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ‘ali Muhammad.