Kamis, 20 Desember 2012

Senyum Senja



Aku melihatnya di senja itu
Tertatih-tatih dengan seikat kayu di pundaknya
Peluh menetes sampai ke dagunya
Dan senyum itu masih tetap sama
Hangat dan tulus
Seakan-akan aku melihat malaikat menyapaku

Aku melihatnya di senja itu
Bercerita tentang rinai pohon akasia
yang memayunginya sepanjang siang teriknya
Onak dan duri yang berjatuhan di semasa paginya
Tapi itu tak pernah membuatnya
kehilangan senyum
Dan senyum itu masih tetap sama
Seperti dua puluh tahun yang lalu
Ketika aku masih belajar bicara
Ketika aku masih berusaha mengenalinya
Terima kasih ibu….

Blitar, 28102011

Pandangan Yang Membentuk Diri



Dalam sebuah acara, saya bertemu dengan seorang teman beserta putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. Saya menyapanya dan mencoba mengajak bicara pada putri kecilnya. Putri kecil itu memandang saya sebentar lalu memalingkan pandangannya ke arah lain yang mungkin lebih menarik perhatiannya. Tetapi kemudian teman saya, ibunya, mengatakan bahwa putrinya seorang penakut. Apalagi jika berada di tempat yang ramai seperti itu. Saya tercenung sejenak. Tiba-tiba saya merasa saya harus meluruskan pandangan teman saya tersebut.

Kita semua tahu bahwa anak kecil adalah seorang peniru yang terbaik. Pertama kali ia memandang dunia, mendengar, merasa, berkata, semua diperolehanya dari lingkungannya. Dia merekam semuanya. Lalu menirukannya sebaik mungkin. Setiap perkataan, tingkah laku seseorang akan menarik perhatiannya. Itulah sebabnya seorang anak kecil senantiasa menjadi makhluk yang selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba. Tak heran pula bila kemudian kita jumpai ada seorang anak kecil tapi ia begitu menjengkelkan, kata-katanya pedas, atau sebaliknya ia begitu penurut, ramah, dan sebagainya. Semua itu adalah pengaruh lingkungan awal yang membentuknya.

Lingkungan awal ini terutama adalah lingkungan keluarga, orang tuanya, atau siapapun yang mengasuh dan merawatnya. Demikian pula dengan perkataan orang tua, pandangan, tingkah laku, sikap. Seorang anak secara sadar ataupun tidak sadar merekam dalam memorinya. Dalam contoh kasus dengan teman saya dan putrinya tersebut, seorang anak yang “diberi label” penakut oleh orang tuanya, maka ia akan tumbuh sebagai anak yang penakut. Demikian pula jika anak dikatakan sebagai pemberani, pemalu, nakal, sopan, pintar, baik hati, dan seterusnya. 

Pandangan-pandangan itu menjadi sugesti yang luar biasa bagi pertumbuhan mental seorang anak. Ketika ia dikatakan sebagai penakut, maka otak bawah sadarnya secara otomatis akan mengatakan bahwa “saya ini penakut. Saya takut terhadap segala sesuatu…”. Ini mengakibatkan seorang anak tak akan berani berbuat sesuatu untuk mengubah hidupnya. Ia akan mencari zona aman, sekalipun itu tak nyaman. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi dirinya yang tak nyaman, tetapi bisikan-bisikan bahwa dia seorang penakut, membuatnya selalu mundur untuk melakukan sesuatu.

Sebaliknya, seorang anak yang dari kecil selalu dipandang sebagai anak yang sopan, ramah, maka dalam perjalanan hidupnya ia akan senantiasa memposisikan dirinya sebagai orang yang sopan dan ramah. Semua itu berjalan tanpa kita sadari. Kelihatannya memang sepele, tetapi sesungguhnya pandangan-pandangan kita terhadap anak akan membentuk dirinya ketika dewasa.  Maka mulai sekarang, jika Anda punya anak, atau dekat dengan anak, berpandanglah positif terhadap anak tersebut. Berpikirlah bahwa ia anak yang hebat, luar biasa, dan pastikan anak itu tahu kalau Anda memandangnya demikian. Ucapkan kata-kata yang baik, bersikap yang baik, agar ia selalu menerima sugesti positif tersebut, sehingga suatu saat anak itu akan menjadi anak yang baik, yang luar biasa, seperti yang Anda harapkan.

Istiqomah

Suatu hari Abu Nawas berjumpa dengan kenalannya. Mereka lalu bercakap-cakap. Abu Nawas ditanya, “Wahai Abu Nawas, berapa usiamu sekarang?” Abu Nawas menjawab, “Usiaku 50 tahun”. Kemudian mereka pun melanjutkan percakapannya. Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa kembali. Teman Abu Nawas ini kembali bertanya,”Wahai Abu Nawas, berapa usiamu sekarang?” Dan sekali lagi Abu Nawas menjawab, “Usiaku 50 tahun”. Temannya pun heran, “Bagaimana kau ini! Beberapa tahun yang lalu aku tanya usiamu, engkau menjawab 50 tahun. Sekarang pun juga kau jawab 50 tahun?!” Dengan tenang Abu Nawas menjawab, “Aku konsisten”.

Cerita ini cukup menggelitik saya. Kendati konyol, ada sebuah pelajaran berharga yang bisa kita petik di dalamnya. Yaitu tentang konsistensi, atau bisa kita sebut pula ke-istiqomahan. Banyak sekali sekarang ini kita jumpai orang-orang yang tidak dapat menjaga keistiqomahan. Mereka sering sekali berganti-ganti sikap / pandangan, tidak punya prinsip, hanya ikut arus. Atau kalau orang Jawa bilang “isuk dhele sore tempe” (pagi hari masih berupa kedelai, sore hari sudah berubah menjadi tempe). Artinya, sikap seseorang tersebut cepat sekali berubah.

Dalam Islam, keistiqomahan ini penting, terutama dalam kaitannya dengan ibadah. Kita dianjurkan untuk melakukan sebuah amal, yang walaupun dalam pandangan manusia nilainya kecil, tetapi terus dilakukan / kontinyu (istiqomah), daripada sekali kita melakukan amal kebaikan yang nilainya besar menurut pandangan kita, tetapi setelah itu kita tidak pernah lagi melakukan amal kebaikan lagi.

Menjaga konsistensi ini ternyata bukan perkara mudah. Banyak sekali halangan di depan kita. Bila kita tidak kuat iman, niscaya kita akan terbawa arus. Mungkin karena itulah dalam surat Al Ashr Allah menyampaikan “Dan saling menasihatilah dalam melaksanakan kebaikan / menegakkan yang hak, dan saling menasihatilah untuk menetapi kesabaran”. Ayat ini menunjukkan bahwa untuk melaksanakan suatu kebaikan harus dilakukan dengan sabar, kontinyu / terus menerus. Dan agar bisa terus istiqomah maka kita dianjurkan untuk “saling menasihati”. Memang sudah menjadi sifat kita sebagai manusia bahwa hati kita ini mudah berbolak balik. Kadang hati kita begitu mudah menghadap Allah, kadang begitu mudah berbuat maksiat. Maka agar hati kita tetap terjaga terus dalam koridor perlu adanya “alarm” yang mengingatkan, yang membangkitkan semangat kita lagi agar  tetap berada di jalan yang benar. Semoga bermanfaat.