Selasa, 17 Mei 2011

Gadis Di Sarang Penyamun

Itu yang tiba-tiba terpikir dalam benak saya ketika mendapati saya berhenti sendiri di lampu merah, ketika orang-orang dengan cueknya dan mungkin tanpa merasa bersalah menerjang lampu perempatan jalan yang jelas-jelas menyala merah.

Saya tiba-tiba juga ingat betapa teman-teman saya seringkali menyarankan kepada saya agar ikut tes CPNS tahun ini. Saran yang sama dari saudara-saudara, kenalan-kenalan, pada tahun-tahun sebelumnya. Dan saya senantiasa menolaknya dengan halus. Jika melihat
salary-nya saya pasti tergiur. Belum lagi jaminan hari tuanya. Tapi entahlah, saya kok merasa belum sreg.

Seorang teman, lulusan S1 Akuntansi dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, diterima menjadi seorang CPNS tahun kemarin. Komentar pertamanya ketika masuk kerja adalah, "...aku disini cuma ngentang ga ada kerjaan."Di lain hari dia berkata "...kuliah bertahun-tahun cuma disuruh masukkan tabel gaji. Kalau cuma begini mah, ga perlu S1 Akuntansi". Dan di lain hari lagi, "....sesibuk-sibuknya kerja PNS tetap masih sibuk kerja normalnya di swasta." Komentar yang hampir sama muncul dari saudara saya yang juga PNS, "...sehari-hari cuma baca koran, ngobrol, sambil nunggu waktu pulang." Dan konon, dengan "pekerjaan" yang seperti itu, mereka bergaji awal sekitar 1,7 juta. Wow, fantastis!!

Sebuah pertanyaan dilontarkan teman saya ketika menerima uang "sisa" dari sebuah kegiatan seminar yang diadakan instansinya, "...apa yang harus saya lakukan dengan uang ini? Sedangkan semua orang juga menerimanya, dan hal semacam ini memang sudah jadi kebiasaan?" Saya termenung dibuatnya. Jika teman saya mngembalikan uang itu - karena menurut saya uang itu adalah milik negara yang berasal dari rakyat - maka ia akan menjadi orang yang dikucilkan. Tetapi jika tidak dikembalikan, sungguh rasanya seperti menghianati amanah yang diberikan rakyat kepada pelaksana pemerintahan negeri ini. (dan apakah ini tidak bisa disebut sebagai korupsi uang rakyat?)

Itu adalah dua buah gambaran tentang Gadis di Sarang Penyamun. Bagaimana seseorang mempertahankan sebuah idealismenya, sedangkan ia dikepung oleh situasi, lingkungan, kondisi, yang justru bertentangan dengan amanat idealisme itu. Saya pikir kita semua pernah mengalami hal semacam itu. Itu jika Anda juga mau memperhatikan apa kata nurani Anda. Situasi semacam itu sedikit banyak akan kita jumpai. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Jika Anda termasuk orang-orang yang menghargai diri Anda sendiri, sudah pasti Anda akan mengatakan YA untuk kebanaran, dan TIDAK untuk perbuatan yang bertentangan dengan nurani Anda. Kendati mungkin - dan hampir pasti - Anda akan tersisihkan, terkucil, dimusuhi, dipojokkan, dianggap sok suci, tidak realistis, dan berbagai julukan omong kosong lainnya. Anggap saja angin lalu. Sulit? Pasti. Terutama bagi Anda yang bernyali ciut. Atau Anda berhadapan dengan sebuah sistem bobrok yang sudah menjadi legal. Atau Anda berhadapan dengan orang-orang besar. Dan besar kemungkinan pendirian Anda akan mengancam posisi Anda, masa depan Anda, keluarga Anda, dan seterusnya.

Atau Anda memilih untuk bermain aman. Menjadi seorang Penyamun pula? Berprinsip Dimana Langit Dijunjung Disitu Bumi Dipijak? Hemm...Semua itu memang menjadi pilihan Anda. Tetapi yang pasti, kita diciptakan untuk menjadi seorang idealis. Kita diciptakan untuk menjadi seorang pejuang. Jika tidak, mengapa kita masih dianugerahi hati nurani? Jika tidak, mengapa kita masih dianugerahi akal pikiran?

"Dan sesungguhnya tidaklah Kami ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia."

Cahaya Di Langit Malam

Maka tiba-tiba aku melihat cahaya bergemerlapan
Bertaburan di atas langit dunia
Aku bertanya apakah itu pelita surga
Yang minyaknya saja hampir-hampir sudah cukup
Untuk menerangi seluruh semesta
Di barat dan di timur?

Dengan wangi kesturi
Lalu sungai-sungai mengalir di bawah kakiku
Di bawah lantai-lantai kaca bening selaiknya embun
Seperti istana Nabi Sulaiman
Dimana Ratu Saba’ pernah terkecoh dibuatnya

Lalu daun-daun yang luasnya sepertiga bumi
Menopang jiwa-jiwa dalam bola-bola kristal yang melayang
Dari sebuah pohon kehidupan
Yang akarnya menghunjam sampai ke dasar semesta
Dan rimbun daunnya nyaris saja menyentuh surga

Aku bermimpi tentangnya

Sejenak aku terkesima pada gemerlap cahaya itu
Dan membayangkan betapa surga telah membuka pintunya

Kiranya pesawat-pesawat terbang
Berlalu lalang mengangkut penumpang
Lampunya berkedip-kedip membangkitkan khayalku

Seperti halnya basah kakiku
Karena aku berdiri di tengah sungai di antara hamparan sawah
Dan rindang pohon kamboja nun jauh di sana
Diterpa angin malam yang deras
Seakan-akan menamparku dan menyadarkanku

Kiranya surga masih jauh dari jangkauku
Tapi bolehlah aku berkhayal berolehnya…

The Caliphates

Ada keharuan yang menyelusup ketika membaca sejarah para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka adalah orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Allah. Mereka adalah sahabat-sahabat utama Rasulullah, orang-orang yang mengasihi dan dikasihi oleh Rasulullah. Namun sungguh, jalan yang harus mereka lalui berbeda dari jalan teladan mereka, Muhammad SAW.

Jika Nabi menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir, penentangan terhadap ketauhidan Allah, maka mereka menghadapi orang-orang munafik. Mereka menghadapi sesama Muslim, tetapi jalan hidupnya jauh dari sebutan seorang Muslim. Mereka harus berbenturan dengan politik dan kekuasaan. Bukan lagi tentang bagaimana menegakkan La ilaha illallah di muka bumi. Namun justru dari dua hal itulah – politik dan kekuasaan –awal segala perpecahan, fitnah, dan permusuhan diantara sesama muslim itu terjadi.

Umar dibunuh oleh seorang budak yang depresi. Utsman dibunuh oleh umat muslim sendiri. Demikian pula dengan Ali. Sungguh ironi. Ketika seruan La ilaha illallah telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, umat manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, tetapi justru di jantung kekuasaan Islam sendiri, diantara keberadaan para sahabat senior Nabi, para khalifah yang mendapat petunjuk ini justru dibunuh. Oleh umatnya sendiri! Inna lilahi wa inna ilaihi rajiun.

Membaca lembar demi lembar sejarah kehidupan para Khalifah ini, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a, ada sebuah harapan yang membumbung tinggi. Bahwa umat Islam akan memperoleh kejayaan. Yaitu berhasil menegakkan dan menyebarkan kalimat La ilaha illallah di seluruh muka bumi, mengajarkannya kepada seluruh manusia sehingga semua orang akan mendapat petunjuk Allah, serta mampu memimpin dunia, menguasainya dengan penuh keadilan.

Membaca sejarah Khalifah Umar bin Khattab r.a yang begitu zuhud dan mengagumkan, membuat saya semakin optimis akan umat Islam. Saya sering dibuat terharu dengan sikap Khalifah Umar yang begitu bersahaja dan bijaksana. Namun akhir kehidupannya yang menyedihkan membuat jantung saya serasa berhenti sejenak. Timbul pertanyaan, lalu setelah ini apa? Dan terngiang sabda Nabi SAW, Sesungguhnya engkau (Umar) adalah pembeda / batas antara kebaikan dan fitnah. Jika engkau terbunuh, maka pintu fitnah itu akan terbuka selamanya. Kurang lebih demikian.

Kemudian itulah yang terjadi. Khalifah Utsman memulai hari-harinya dengan sangat berat. Gelombang fitnah menerjang kemana-mana. Demi menegakkan kekhalifahan Islam yang meliputi berbagai penjuru negeri, menjaga stabilitas khilafah Islam, beliau menunjuk saudara-saudaranya untuk menduduki berbagai jabatan di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Karena hanya dengan saudara-saudaranya itulah beliau percaya dan merasa aman. Namun ternyata kebijakan itu justru menimbulkan fitnah-fitnah baru. Bukannya mendapat dukungan dari masyarakat luas, beliau justru dituduh berusaha melanggengkan kekuasaan untuk keluarganya sendiri.

Tuduhan ini paling tidak ada dua macam. Pertama, tuduhan atau mungkin lebih tepatnya kritikan dari para sahabat senior Nabi, yang khawatir atas ketidak-demokratisan sikap Utsman. Karena bagaimanapun, banyak pula orang Islam lain –selain keluarga Utsman - yang cukup cakap untuk mengemban sebuah amanah kekuasaan. Kritikan ini lebih pada upaya mengingatkan Utsman agar jangan menggali kuburnya sendiri. Kedua, tuduhan dari orang yang menghendaki kekuasaan. Mereka berharap dapat memperolah jabatan tertentu dari apa yang telah mereka perbuat “untuk Islam”. Ketika jabatan-jabatan ini kemudian kebanyakan hanya dialamatkan kepada keluarga Utsman, merekapun menjadi berang.

Akhir drama dari semua fitnah ini adalah pengepungan rumah Khalifah Utsman oleh para pemberontak yang kemudian berakhir pada pembunuhan Khalifah yang terkenal sabar dan penyayang ini. Beliau rela menjadi martir atas semua fitnah yang terjadi di kalangan umat Muslim waktu itu. Beliau mencegah para sahabat Nabi lainnya untuk membantu dan melindunginya, karena kasih sayangnya pada mereka semua.

Lembaran terakhir dari sejarah para Khulafa’ur Rasyidin adalah perjalanan berat yang harus ditempuh oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Beliau harus menghadapi situasi sulit berkaitan dengan pembunuhan Khalifah Utsman. Beliau kemudian juga dirongrong oleh golongan Khawarij, para pemberontak yang sebelumnya adalah para pendukungnya, yang kemudian berbalik arah menyerangnya. Dan yang paling utama, beliau juga harus berhadapan dengan sahabat Nabi lainnya, sekaligus anggota keluarga Utsman, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. Konflik terakhir ini lebih bersifat perebutan kekuasaan. Yang kemudian juga berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali.

Sungguh, semua drama itu membuat saya merenung tajam. Bahkan terkadang seperti seseorang yang hendak menggapai bintang di tengah tanah lapang. Saya berpikir, jika perselisihan yang terjadi di masa-masa awal Islam saja sudah seperti itu, padahal diantara mereka banyak orang-orang saleh, para sahabat nabi yang mendapat didikan langsung dari Sang Rasulullah mulia, lalu bagaimana dengan kita, yang hidupnya jelas-jelas jauh dari masa itu? Yang kesalehannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan para sahabat Nabi? Yang tantangannya jauh lebih berat daripada masa-masa itu? Apa yang akan terjadi pada kita?

Saya tidak ingin berputus asa. Tapi jantung saya sudah terasa robek merasakan kepiluan yang terjadi pada masa-masa awal Islam tersebut. Sedih. Dan saya merasa begitu lelah….

Kejujuran Yang Memberuntungkan

Saya ingat sebuah film yang sangat menarik bagi saya, yaitu Forrest Gump. Anda pernah menontonnya? Tokoh dalam film ini adalah seorang pemuda bodoh / idiot yang bernama Forrest Gump. Meskipun bodoh / idiot, ia menyadari bahwa dirinya bodoh. Salah satu yang paling berkesan bagi saya dari tokoh ini adalah kepatuhannya pada orang tua. Apapun perkataan ibunya (ia tak punya bapak lagi), selalu ia turuti. Karena ia percaya ibunya akan mengatakan hal yang benar kepadanya.

Hal lain yang juga menarik perhatian saya dari tokoh ini adalah kejujurannya. Ia tak perduli apa perkataan orang tentang dirinya, ia tetap berlaku jujur. Kesadarannya bahwa ia bodoh, adalah bentuk paling awal dari kejujurannya. Kepada diri sendiri. Dan menariknya, kejujurannya itu seringkali memberikan keberuntungan kepadanya. Hingga ia berhasil mencapai puncak karirnya, yang ia sendiri, atau siapapun tak akan mengira. Bahwa seorang yang bodoh itu bisa mencapai sebuah kesuksesan yang seringkali diimpikan oleh orang-orang cerdas.

Kisah lain yang juga sangat luar biasa adalah kehidupan Muhammad bin Abdullah. Tak perlu diragukan lagi ia adalah salah satu orang terjujur yang pernah terlahir ke dunia. Jika Forrest Gump adalah tokoh rekaan, maka Muhammad bin Abdullah adalah tokoh nyata yang pernah hidup diantara manusia lainnya. Oleh kaumnya Muhammad diberi gelar Al Amin, yang berarti Yang Terpercaya. Sejak kecil ia selalu bersikap jujur dan santun kepada siapa saja. Ketika terjadi perselisihan diantara kaumnya, ia pulalah yang ditunjuk untuk menyelesaikan permasalahan itu. Padahal usianya saat itu masih muda.

Muhammad terlahir dari keluarga yang terhormat, memiliki harta yang tidak sedikit. Namun gelar yang disandangkan kepadanya bukanlah karena keluarganya, bukan karena hartanya, melainkan karena sifatnya yang bisa dipercaya/jujur. Bahkan seseorang menuturkan bahwa “...jika engkau menitipkan barang kepadanya, ia tak akan menyentuhnya sedikitpun. Jika engkau menitipkan istrimu agar ia menjaganya, sedikitpun ia tak akan melirik istrimu.” Yang luar biasa perkataan ini justru muncul dari orang yang memusuhi Muhammad! Mungkinkah Anda menemui hal semacam itu pada masa sekarang ini?

Ketika beranjak dewasa Muhammad ikut sebuah kafilah dagang menuju Syam yang dipimpin oleh seorang janda kaya bernama Khadijah. Sebagai pedagang Muhammad tetaplah dikenal sebagai orang yang jujur. Ia akan mengatakan kepada calon pembelinya mengenai barang yang dijajakannya secara jujur. Bila barangnya baik, ia akan mengatakan baik. Bila barangnya dalam kondisi buruk, ia pun tetap mengatakannya. Tak heran banyak pembeli yang justru terpikat dengan cara dagangnya itu. Sehingga pada saat kembali ke tempat asalnya, Mekah, Muhammad memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Akhir cerita, majikannya pun juga terpikat dengan budi pekerti Muhammad, hingga ia pun meminta agar Muhammad bersedia menikah dengannya.

Lihatlah, cerita-cerita luar biasa ini bermula dari satu kata. Kejujuran. Dengan kejujuran inilah mereka-mereka memperoleh keberuntungan. Oleh karena itulah judul tulisan saya ini adalah “Kejujuran Yang Memberuntungkan”, bukan “Kejujuran Yang Menguntungkan”. Apa bedanya? Menguntungkan berarti memperoleh keuntungan. Keuntungan adalah sesuatu yang bisa diupayakan untuk diraih. Keuntungan bersifat disengaja. Ada target. Dengan perhitungan tertentu, keuntungan yang dikehendaki / ditargetkan bisa terealisasi. Meski kadang meleset, bisa lebih baik atau lebih buruk, namun tetap saja keuntungan itu ada perhitungannya.

Memberuntungkan berarti memperoleh keberuntungan. Apa yang Anda pikir tentang keberuntungan? Jika saya berkata, orang itu beruntung, apa yang terlintas di pikiran Anda? Kondisi beruntung sering dimaknai dengan memperoleh keuntungan yang tak disengaja. Seseorang tak berniat/berpikir memperoleh keuntungan, tetapi ternyata ia memperoleh keuntungan. Ini disebut sebagai keberuntungan. Begitu juga dalam kisah-kisah di atas. Mereka, Forrest Gump ataupun Muhammad, tidak berpikir bahwa mereka akan memperoleh keuntungan dari sikapnya, jujur. Mereka melakukannya hanya karena mereka tahu bahwa sikap itu adalah sikap terpuji, sesuai dengan nurani, sangat layak untuk diapresiasi dan diamalkan.

Mereka tidak hendak “memperjualbelikan kejujurannya” dengan harta benda, jabatan, prestise, ataupun kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Tidak. Mereka tidak berniat seperti itu. Mereka berpikir, merasa, bahwa jujur itu indah. Fitrah manusia adalah menyukai keindahan. Mereka mendengarkan kefitrahan mereka. Mereka mengikutinya. Maka keberuntungan pun menyertai mereka. Bagaimana dengan Anda? Anda percaya? Silakan lakukan, dan buktikan!