Rabu, 24 November 2010

Racun Yang Tersamar

Anda pernah menjumpai orang yang keracunan? Bagaimana kondisi orang yang keracunan? Bagaimana seseorang bisa keracunan? Uraian berikut ini memang akan membahas mengenai keracunan. Tapi racun yang akan kita bahas disini bukanlah racun dalam bentuk fisik yang bisa termakan, terhirup, atau menempel di kulit kita. Racun yang kita bahas adalah racun yang tersamar. Bagaimana racun bisa tersamarkan?

Racun yang tersamar adalah racun yang berada dalam hati. Racun itu disebut dendam. Mengapa dendam saya sebut sebagai racun yang tersamar?

Kembali pada pertanyaan awal saya, bagimana kondisi orang yang keracunan? Orang keracunan kondisi fisiknya akan menurun. Ia akan menjadi lemah, gelisah, pusing, mual, muntah, mulut mengeluarkan busa, pingsan, hingga sampai kepada kematian. Demikian pula racun dalam hati yang disebut dendam tersebut. Orang yang terbakar dendam hidupnya akan gelisah, lemah akal, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata yang buruk / menyakitkan, tidak menyadari fungsi keberadaan dirinya, sampai pada bekunya hati.

Saya pernah mengalami dendam itu. Betapa menyiksanya. Dan saya mulai menyadari betapa banyak energi saya terbuang untuk mengurusi hal yang mematikan hati saya tersebut.

Orang yang dendam menyimpan bara dalam hatinya. Bara itu adalah kebencian. Secara lahiriah mungkin ia terlihat baik-baik saja, bahkan kepada orang yang didendamnya. Tapi hatinya senantiasa membara. Itulah mengapa saya sebut tersamar. Karena mungkin tak ada orang yang tahu bahwa ia sedang mendendam kepada seseorang. Namun demikian energi negatif yang tersimpan dalam dendam sungguh sangat besar. Jika api telah tersulut, bara itu akan mengobar. Energi negatif akan memancar, meledak dengan luar biasa. Yang bahkan dapat membakar atau menghancurkan orang-orang disekitarnya, sekalipun mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan dendam itu.

Saya menjumpai orang-orang semacam ini di sekitar saya. Dan umumnya, dendam itu muncul karena sebuah kesalahan yang tak disengaja. Artinya, seseorang secara tak sengaja melukai perasaannya, harga dirinya, jiwanya. Orang yang menyimpan dendam umumnya juga orang yang over sensitive terhadap keadaan sekitarnya. Mereka menanggapi segala sesuatu dengan serius. Peristiwa sekecil apapun yang terjadi di sekitarnya bisa menimbulkan kesan yang mendalam bagi dirinya. Sayangnya, tak jarang pula mereka-mereka ini adalah jenis orang yang hidup dalam alam yang penuh kasih sayang. Ini pula yang mungkin membentuk mereka menjadi seorang yang begitu sensitif, sekaligus mudah terpancing untuk menjadi seorang pendendam.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar tidak terbakar dalam dendam? Meminjam istilah ekonomi, kita hendaknya menghitung “biaya-manfaat”nya. Artinya, ketika kita terbakar dendam, pada dasarnya kita telah mengeluarkan “biaya” yang sangat besar dalam diri kita. Biaya itu adalah pikiran, energi, daya juang, keikhlasan, kecerdasan, dan banyak lagi. Kita mengeluarkan “biaya” itu secara sia-sia. Kita tak akan mendapat apapun dari dendam itu. Kalaupun akhirnya kita berhasil membalas dendam, apakah itu menjadikan hidup kita lebih baik? Kalau dendam itu terjadi karena kita telah tersakiti, maka dengan membalas dendam bukankah itu berarti kita juga balas menyakiti? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang menyakiti kita? Bahkan kalau boleh saya bilang kita yang membalas dendam adalah orang yang lebih buruk dari orang yang menyakiti kita. Kok bisa?

Ya, karena orang yang menyakiti kita, yang membuat kita dendam, belum tentu menyadari bahwa ucapannya, tindakannya itu menyakiti kita. Artinya ia tidak sengaja menyakiti kita. Tetapi ketika kita membalas dendam, maka kita memang sengaja menyakitinya. Kesengajaan itulah yang menjadikan kita mengalami penurunan derajat kemanusiaan kita. Kalaupun orang tersebut memang sengaja menyakiti kita, hal itu tetap tidak menjadikan kita pantas untuk membalas dendam.

Kemudian kita juga harus memperhatikan manfaatnya. Apakah benar dendam itu bermanfaat bagi kita? Ataukah justru merugikan kita? Bila kita merasa tersakiti, bukankah jauh lebih baik jika kita mengatakannya, menyampaikannya langsung kepada orang yang menyakiti kita? Atau bisa pula melalui seorang perantara yang bisa dipercaya, untuk menyampaikan bahwa kita merasa tersakiti oleh tindakan atau ucapan seseorang. Rasanya, cara ini akan lebih jujur, terbuka, dan langsung menyentuh ke permasalahannya. Jika orang yang menyakiti kita lalu menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita, bukankah itu hal yang sangat baik. Dan selayaknya kita memaafkan serta menganggap permasalahannya selesai. Lalu bagaimana jika ia enggan meminta maaf, menganggap dirinya tak bersalah, atau ia terlalu arogan untuk meminta maaf?

Maka cobalah untuk memaafkannya. Kendati sulit, tapi cobalah. Bukankah dunia akan menjadi lebih indah ketika kebencian kita balas dengan cinta? Bukankah lebih mulia ketika luka kita balas dengan persahabatan? Disinilah letak ketinggian derajat kita, jika kita mau melakukannya. Atau jika kita lebih berkenan lagi, kita bisa mendekatinya dan meminta maaf terlebih dahulu. Mengapa kita yang justru harus minta maaf? Bukankah kita yang justru tersakiti? Cukuplah kiranya seperti yang dikatakan seorang sahabat saya, seseorang yang meminta maaf lebih dulu bukan berarti ia yang bersalah, tetapi sesungguhnya ia adalah orang yang lebih mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar