Jumat, 17 September 2010

Titik Balik

Pada suatu waktu dalam kehidupannya, seseorang mendengar suara hati yang membenarkan apa yang samar-samar dia rasakan – bahwa semuanya keliru. Dia melihat bahwa hidupnya, dalam banyak hal, begitu menjemukan, bahkan memuakkan. Kesadaran ini seharusnya diperhatikan. Jika dia menggubrisnya, dan tidak menekannya lantaran menganggapnya sebagai sesuatu yang “buruk”, maka itu bisa menjadi titik balik kehidupannya.

Apabila Anda kecewa, rendah diri, atau cemas, maka bergembiralah! Semua itu diperlukan dalam menemukan jati diri yang lebih kaya. Kecewa berarti Anda jujur menghadapi cara hidup Anda yang tak menyenangkan. Berarti Anda melihat pertama kali bahwa apa yang tak bekerja dengan baik tidaklah bermanfaat. Kecemasan atas keadaan diri harus terjadi sebelum jati diri yang lebih tinggi muncul. Orang yang puas tak pernah menanjak naik ke tingkat yang lebih tinggi. Kecewalah jika itu yang Anda rasakan, dan bergembiralah. Anda telah mengatasi kebiasaan yang negatif meski hanya sedikit.

Langkah awal menemukan jati diri yang lebih kaya ialah dengan merasa bosan pada penjelasan yang tidak menawarkan apa-apa. Ada banyak orang yang amat bersemangat memberi nasihat tentang cara menjalani hidup. Kebanyakan tidak hanya berharga bagi diri mereka sendiri namun juga menempatkan diri Anda pada jalur yang benar. Para konselor boleh jadi orang yang baik, tetapi tidak berarti mereka tahu apa yang mereka bicarakan tentang diri Anda. Sebagaimana ucapan jenaka seseorang, ”Saya berhenti meminta nasihat kepada teman-teman saya. Saya baru tahu mereka ternyata juga bingung seperti diri saya.”

Hanya kebenaran yang bisa diandalkan.

(Vernon Howard)

Sejarah Nama Indonesia

INDONESIA. Yup, itu adalah nama negara kita. Tapi tahu nggak asal-usul nama negara kita yang unik ini? Berikut ini uraiannya.

Kata INDONESIA konon berasal dari bahasa Latin, yaitu indus yang berarti Hindia, dan dari bahasa Yunani, yaitu nesos yang berarti pulau. Emm...ternyata selain tidak berasal dari bahasa suku-suku asli penghuninya, lebih jauh kata INDONESIA berasal dari dua bahasa sono ya (kalau misal gabungan dari bahasa madura dan bugis apa ya namanya...?). Jadi, dari gabungan dua kata dalam dua bahasa tadi tersebutlah nama Indonesia yang berarti Kepulauan Hindia.

Konon, pada tahun 1850 dalam sebuah jurnal yang bernama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), George Samuel Windsor Earl, seorang etnolog asal Inggris, menulis bahwa sudah saatnya penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas. Menurutnya, hal ini perlu agar tidak terjadi kerancuan manakala melakukan penyebutan dengan India yang lain. Earl kemudian mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri rupanya lebih condong kepada nama Melayunesia, mengingat kebanyakan penduduk Indonesia saat itu menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa penghubungnya. Sebaliknya, James Richardson Logan, seorang sarjana hukum asal Skotlandia, dalam jurnal yang sama, lebih tertarik untuk menggunakan nama Indonesia [dengan mengganti huruf u pada indunesia menjadi o, sehingga menjadi indonesia].

Selanjutnya, Mr. Logan (ini bukan nama aslinya Wolverine lo...) menggunakan nama Indonesia untuk mempelajari bangsa-bangsa. Lambat laun, nama Indonesia ini mulai mengundang para ahli untuk menggunakannya. Misalnya pada tahun 1862, seorang Inggris bernama Maxwell menggunakan istilah Indonesia untuk judul bukunya, The Island of Indonesia. Kemudian pada tahun 1884, seorang profesor berkebangsaan Jerman yang bernama Adolf Bastian juga menggunakan nama Indonesia untuk ilmu ekologinya.

Dalam lingkup politis dan kenegaraan, istilah Indonesia pertama kali digunakan oleh Suwardi Suryaingrat [lebih kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara – Bapak Pendidikan] pada tahun 1913, ketika beliau mendirikan Indonesische Pers-bureau. Pada tahun 1922, sejumlah pemuda Indonesia mendirikan Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia [awalnya, organisasi ini berdiri tahun 1908 dengan namaIndische Vereeniging] di Rotterdam. Tak lama kemudian berdirilah organisasi-organisasi lain yang menggunakan nama Indonesia, atau mengganti nama dengan kata Indonesia, seperti Indonesische Studie Club, Partai Komunis Indonesia, dan Jong Islamitien Bond.

Lalu, pada 28 Oktober 1928, dalam Kongres Pemuda II, istilah Indonesia digunakan kembali sebagai ikrar resmi anak-anak bangsa. Ikrar ini adalah Sumpah Pemuda. Istilah ini kemudian menyebar semakin luas dalam konteks organisasi politis, pemuda, dan kenegaraan, hingga akhirnya terjadi peristiwa akbar bagi bangsa ini yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Nah, ternyata cukup panjang juga ya proses penentuan nama Indonesia ini. Bukan suatu hal yang mudah, dan mesti disertai dengan darah dan air mata. So, sudah sepatutnya kita mempertahankan harkat dan martabat negara kita ini. Jangan sampai direndahkan atau diinjak-injak oleh orang atau negara lain. Jangan biarkan perjuangan para pahlawan kita hanya menjadi sebuah dongeng pengantar tidur di dalam kelas-kelas sekolah kita. Hiks,..

SMS



Gema takbir yang menandai malam takbiran belum dimulai, tetapi saya sudah menerima sms dari seorang teman yang mengucapkan Minal Aidin Wal faidzin kepada saya. Dan selanjutnya lebih banyak lagi ketika takbir telah bergema dimana-mana. Mulai dari yang berbahasa Arab, yang puitis, yang lucu-lucu, yang pake bahasa Jawa tingkat tinggi (sampe saya ngga ngerti artinya – saya yakin yang nulis juga ngga ngerti artinya). Sampai saya bingung juga, mau yang mana dulu yang seharusnya saya balas. Tapi, ..ah sudahlah, bukan itu yang ingin saya obrolkan disini.

Melihat berita tentang perkembangan teknologi saat ini benar-benar luar biasa. Hal-hal yang dulu ketika kita masih kecil sering kita khayalkan sekarang ini bisa menjadi sebuah kenyataan. Tak terkecuali teknologi telekomunikasi. Saya jadi berpikir, apakah memang benar telah tiba masanya ketika manusia tak butuh lagi untuk bertemu dengan sesamanya secara langsung, cukup terwakili oleh media. Bayangkan saja, untuk komunikasi dengan orang lain kita telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan. Mulai dari telepon (konvensional), ponsel, internet (yang punya banyak varian fasilitas komunikasi),

Untuk kasus Iedul Fitri ini saja, orang jadi tak merasa ”wajib” untuk bertemu dengan sanak keluarganya, handai tolan, teman-teman lamanya. Semuanya bisa terwakili lewat beberapa larik tulisan dalam sms, atau telepon yang beberapa menit saja, atau say hai dalam jejaring sosial dalam sekali sentuh.

Saya jadi berpikir, apakah ”diri” kita ini menjadi begitu tidak penting bagi orang lain, dan begitu pula sebaliknya, keberadaan orang lain tak lagi penting bagi kita? Ataukah memang media telah cukup mewakili semua keberadaan kita itu? Ataukah teknologi telah membutakan kita, sehingga hal apapun itu asalkan ada sentuhan teknologi maka semua akan menjadi baik?

Saya jadi berpikir mungkin suatu saat diri kita sejati ini tak lagi diperlukan. Kita cukup mewakilkan segala sesuatu melalui media, atau implant diri kita. Jika kamu telah melihat film ”Surrogate” kamu akan paham maksud saya.

Ah,... semoga ini hanyalah pikiran bodoh saya, yang tak bisa memahami filosofi keruwetan teknologi itu. Satu hal yang pasti, kita harus belajar menjadi bijak untuk memanfaatkan teknologi yang berseliweran di sekitar kita. Ok bro?

Ramadhan Datang, Ramadhan Pergi

Tak terasa bulan Ramadhan telah berlalu. Bagi umat Muslim, bulan Ramadhan adalah salah satu diantara bulan-bulan mulia yang senantiasa dirindukan kedatangannya. Di dalamnya terdapat banyak keberkahan, manfaat, kesadaran diri, kebangkitan diri, cinta, dan kesucian. Banyak pelajaran berharga dapat dipetik selama bulan ini.

Saya ingat dalam sebuah tulisan yang dimuat di sebuah media cetak beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan untuk latihan. Mengapa latihan? Sebuah prasyarat utama dan esensi dalam bulan Ramadhan adalah bagaimana seorang Muslim menahan nafsunya, mengendalikan nafsunya. Tidak sekedar keinginan untuk makan dan minum saja, tetapi yang terpenting adalah nafsu syahwat dan nafsu amarrah.


Syahwat dan amarrah ini bisa sangat luas pengertiannya. Mulai dari keinginan untuk berbohong, curang, seksual, penindasan, adu domba, iri, kebencian, perusakan, takabur, gosip, penganiayaan dan berbagai hal. Pendek kata semua contoh tindakan tercela adalah termasuk dalam kategori syahwat dan amarrah ini.

Inilah mengapa ramadhan diibaratkan sebagai bulan untuk latihan. Dalam bulan tersebut umat Muslim dituntut untuk mengendalikan keinginan-keinginan negatif dalam dirinya, yang diharapkan kendali total atas keinginan negatif tersebut akan berlanjut sampai di bulan-bulan berikutnya. Sehingga ketika telah tiba hari Iedul Fitri, maka pada dasarnya ”pertarungan” yang sesungguhnya baru akan dimulai.

Ketika dalam bulan Ramadhan kita bisa mengerem keinginan negatif kita karena ingat ”...Oya, ini kan bulan Ramadhan...”., lalu bagaimana halnya ketika kita berada di bulan yang bukan Ramadhan? Maka memang yang seharusnya kita ingat, kita camkan dalam diri kita bukan karena ”Ramadhan” atau bukannya, bukan sampulnya yang kita lihat. Akan tetapi esensi dari diadakannya latihan tersebut.

Akhirnya, semoga Ramadhan yang telah kita lalui, dapat menjadi sebuah pembelajaran bagaimana seharusnya kita bersikap dan bertindak dalam hidup ini. Melihat segala sesuatu secara komprehensif, dilandasi kasih sayang, tidak mengumbar nafsu, mengutamakan orang lain, dan berfokus pada keridhaan Ilahi.

Selamat Berjuang!!