Sabtu, 05 Februari 2011

Pujaan Hati

Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Takut-takut kucuri pandangan padanya. Tapi dia diam saja. Mungkin dia tak melihatku.

Tiap hari, untuk sesaat, aku berhenti di trotoar itu. Memandangnya walau hanya sekejab. Aku tak berani terlalu lama. Takut orang mencemoohku. Mereka mungkin mengatakan aku tak pantas untuknya. Ya. Aku sadar itu. Siapalah aku ini?

Aku hanya bekerja serabutan. Upahku tak menentu. Tapi….aku begitu ingin memilikinya. Aku ingin mendekatinya. Tapi apa mungkin? Apa dia sudi menemuiku?
Tapi gejolak hatiku begitu menginginkannya…

Dia begitu mempesonaku. Dia memancarkan aura yang tak pernah kujumpai pada yang lain. Dan aku hanya bisa menatapnya. Dia selalu di sana. Di dalam toko itu. Seperti sedang menanti sesuatu. Apakah itu aku? Apakah dia menantiku?

Ah, mana mungkin. Mengenalku saja tidak. Aku yang berpakaian lusuh ini, mana mungkin menarik perhatiannya. Meski aku begitu berharap ada sebuah keajaiban, dimana aku bisa mendekatinya, memilikinya. Andai saja.

Beberapa hari ini aku telah mengumpulkan uang dari hasil keringatku. Tidak banyak memang. Tapi lumayan. Aku berharap ini bisa buat bekal bagiku untuk mendekatinya. Syukur-syukur cukup untuk menarik perhatiannya Sehingga aku bisa memilikinya.

Meski dengan hati bimbang, deg-degan, hari ini aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku tak mampu lagi memendam keinginanku. Aku masuk ke dalam toko itu. Menemui pemilik toko yang memandangku dengan enggan. Lalu aku bertanya kepadanya. “Pak, Browniesnya sepotong harganya berapa?”

Bias Kehidupan

Saya mendengarkan saja cerita sahabat saya, yang menceritakan perkataan teman saya yang lain, yang berkomentar tentang pernyataan saya. Saya terhenyak. Berita itu membuat saya harus menarik nafas panjang. Berat sekali. Saya enggan untuk mempercayai perkataan sahabat saya itu. Tapi saya cukup mengetahui kualitas dirinya, sehingga rasanya tak mungkin bila ia hendak bermain-main dengan saya. Terlebih lagi setelah beberapa waktu saya mendengar kabar serupa dari teman-teman saya yang lain.

Hal yang ingin saya sampaikan disini adalah tentang bias. Waktu itu saya mengatakan tentang hal A. Tetapi teman saya yang membiaskan perkataan saya tersebut menyampaikan ke teman yang lain seolah-olah saya mengatakan B. Saya tahu bahwa ia tidak hendak memfitnah saya, karena kami dulunya adalah teman dekat. Tetapi ia bias. Ia menuruti emosinya terlebih dulu, sehingga tidak bisa mencerna perkataan saya dengan benar. Beberapa sahabat saya yang lain ternyata juga mengalami hal yang sama dengan saya, perkataan atau sikapnya ditanggapi dengan bias. Oleh teman saya yang bias itu, atau oleh yang lainnya.

Beberapa lama akhirnya saya menyadari, betapa dalam kehidupan ini memang seringkali terjadi bias. Sesuatu yang lurus menjadi bengkok, sesuatu yang benar akhirnya menjadi salah, karena terjadi bias.

Saya ingat, dalam film The Sixth Sense, ada sebuah perkataan salah seorang tokohnya yang berbunyi, “Kau hanya melihat apa yang ingin kaulihat, bukan yang seharusnya terlihat”. Inilah akar dari bias. Kita seringkali melihat kenyataan pada apa yang ingin kita lihat dari kenyataan tersebut. Kita melihat persepsi kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. Kita melihat sebuah peristiwa buruk yang menimpa kita sebagai sebuah keburukan dalam hidup kita, padahal jika kita mau melihatnya lebih seksama, sebenarnya peristiwa itu justru akan membawa kebaikan pada diri kita. Bukankah hal semacam ini sering terjadi pada kita?

Serupa dengan apa yang telah disampaikan Al Qur’an, ....ketika terjadi keburukan pada mereka, mereka mengatakan “Tuhanku mengabaikanku”. Dan bila terjadi hal yang baik pada mereka, mereka mengatakan “Tuhanku memuliakanku”.

Bias semacam inilah yang seringkali akhirnya mencelakakan kita. Kita seperti mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak patut kita kejar. Kalau dalam film Home Alone (yang keberapa saya lupa), si kecil Kevin mengejar seorang laki bermantel seperti ayahnya di bandara. Ia mengira lelaki itu ayahnya. Dan ternyata bukan. Ketika ia menyadari kesalahannya, semua sudah terlambat. Ia tak bisa lagi menemukan ayahnya. Karena mereka menuju arah yang berbeda.

Maka alangkah lebih bijaknya ketika kita menerima sebuah informasi, mendengar atau melihat perkataan, sikap, peristiwa, atau apapun itu, kita melihat dari berbagai sudut secara komprehensif. Mengkonfirmasi ulang, mengklarifikasi kebenaran informasi itu, agar kita tidak salah arah. Agar kita tidak menyakiti orang lain. Agar kita tidak menjadi orang yang sesat dan menyesatkan.