Jumat, 18 Maret 2011

Karena Hidup Bukan Pilihan

Kebanyakan orang mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, Tetapi saya justru ingin mengatakan sebaliknya, bahwa hidup bukanlah sebuah pilihan. Mengapa demikian? Sebenarnya ada dua hal berbeda dalam permasalahan ini.

Benar memang, bahwa hidup adalah pilihan. Tetapi itu berlaku dalam penyikapan suatu hal. Sedangkan dalam menghadapi kenyataan hidup, maka hidup yang kita jalani bukanlah sebuah pilihan. Coba renungkan, pernahkah Anda bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga terpandang, bangsawan misalnya? Bisakah Anda memilih terlahir sebagai laki-laki? Bisakah Anda membuat pengecualian bahwa ketika tangan Anda dibakar, maka tangan Anda tidak terbakar meskipun orang lain bisa terbakar? Bisakah Anda memilih untuk bernafas lima menit sekali?

Semua pertanyaan-pertanyaan diatas, dan banyak pertanyaan lainnya, menunjukkan bahwa kita harus menerima kenyataan. Bahwa Anda terlahir sebagai perempuan misalnya, maka Anda tak bisa menolaknya. Bahwa Anda tidak bisa tidak bernafas barang sekejab saja, Anda tak bisa mengingkarinya. Ini semua kenytaan. Yang perlu kita lakukan adalah menerimanya, karena segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik bagi diri kita.

Lalu apa selanjutnya? Anda perlu menentukan sikap atas kejadian-kejadian yang menimpa Anda, realitas/takdir yang terpampang di hadapan Anda. Dan disinilah lapangan pilihan hidup itu berlaku. Anda bebas memilih sikap apa yang Anda ingin ambil menghadapi realitas. Keputusan ada di tangan Anda, dan tentu saja ada sebuah konsekuensi logis yang melekat dari setiap keputusan tersebut. Bagaimana?