Minggu, 12 Juni 2011

Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 2)

Peran Para Ulama

Dalam berbagai literatur sejarah Islam kita akan menjumpai segudang prestasi yang telah dicapai pada masa kekhilafahan Islam. Sejak zaman Khulafaur Rasyidin hingga akhir Khilafah Utsmaniyah. Kita akan menjumpai berbagai kecemerlangan dan kesempurnaan sejarah Islam. Terutama pada buku-buku sejarah Islam kontemporer. Saya belum pernah menjumpai ada penulis Muslim (Sunni) yang menuliskan keburukan dalam sejarah Islam.

Jika ada tulisan Muslim yang mengeluhkan keburukan sejarah Khilafah Islam, hampir bisa dipastikan itu berasal dari kaum Syiah atau Islam liberal. Namun tetap saja, sebagai seorang Sunni, saya sempat merasakan kegelisahan membaca sejarah kekhilafahan Islam. Benarkah sejarah Islam berjalan begitu indah, padahal umat Islam adalah bagian dari umat manusia yang tak sempurna? Bukannya saya ingin mencari kejelekan dari sejarah Islam, tetapi melihat kenyataan adanya perselisihan antara Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a dan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a, serta antara Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a dengan Muawiyah r.a membuat saya terpaksa berpikir seperti itu. Tetapi mengapa para ulama hampir tak pernah mengabarkan kelemahan dari sejarah khilafah Islam untuk dijadikan bahan studi?

Fouda dalam bukunya juga mempertanyakan hal yang sama. Bahkan lebih. Fouda seakan-akan menyatakan ada sebuah kebenaran yang hilang dalam sejarah Khilafah Islam. Ada fakta yang sengaja ditutupi oleh para ulama untuk mencapai agenda tertentu. Pendapat ini cukup ekstrim menurut saya. Namun bisa saja ada benarnya. Akan tetapi, kalaupun para ulama sekarang sengaja menutup-nutupi fakta tentang “penyimpangan-penyimpangan” dalam sejarah khilafah Islam tersebut, tentu hal itu bukan tanpa alasan. Kestabilan umat Islam saya kira adalah salah satu alasannya, selain agar tumbuh cita-cita, impian luhur untuk mewujudkan masyarakat Islam dan pemerintahan Islam yang ideal.

Umat Islam mestinya memang tahu kelemahan-kelemahan dalam sejarahnya, tetapi mungkin tidak perlu seluruh umat, cukup orang-orang tertentu saja. Misalnya para pemikir-pemikir Muslim, ilmuwan-ilmuwan Muslim, dan para ulama saja. Ini misal. Mengapa demikian? Karena mereka inilah yang memiliki kapabilitas untuk merekonstruksi, merancang sistem pemerintahan Islam yang ideal untuk masa kini, sekaligus mengeliminir penyimpangan-penyimpangan yang mungkin akan timbul jika nantinya sistem khilafah kembali tegak berdiri.

Kita juga harus ingat bahwa Rasulullah telah menyampaikan bahwa generasi terbaik Islam adalah pada masa Rasulullah dan sahabat, kemudian tabi’in, dan tabiut tabi’in. Rasulullah pernah bersabda tentang kematian Umar bin Khattab r.a. Bahwa Umar adalah gerbang / pintu fitnah. Artinya, ketika Umar tiada, maka akan bermunculan fitnah dalam umat Islam. Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan bahwa cucu-cucunya, Hasan dan Hussein akan mati syahid dan mereka menjadi penghulu pemuda surga. Rasul juga pernah menyebutkan bahwa Ammar bin Yasser r.a akan dibunuh oleh kaum yang bengis.

Semua yang disebutkan Rasulullah benar terjadi. Mustahil jika beliau tidak tahu bahwa semua itu terjadi tidak lama setelah kepergian beliau. Pun demikian Rasulullah tetap menyampaikan bahwa masa –masa tersebut adalah generasi-generasi terbaik dalam Islam. Dengan memperhatikan hadits tersebut, tidak mengherankan jika para ulama tetap menjadikan kehidupan masa-masa tersebut sebagai rujukan kehidupan umat Islam yang lebih baik daripada sekarang.

Masyarakat Islam tumbuh sebagai masyarakat yang sholeh pada saat itu. Saat dimana kekhilafahan Islam berkuasa. Walaupun tetap terjadi penyimpangan dalam politiknya. Dan kita tentu cukup paham bahwa ketika kita mengambil teladan, tentu yang diambil adalah sisi yang baik. Sedangkan sisi yang buruk kita tinggalkan. Bukan dilupakan, tetapi ditinggalkan dan kita jadikan ibrah untuk menata kehidupan supaya lebih baik.

Tetapi masih saja ada hal yang yang menjadi pertanyaan saya, yaitu apa yang dilakukan para ulama masa-masa itu? Kemana mereka? Satu contoh pada kasus peristiwa Karbala. Di saat Hussein dan keluarganya dikepung tentara Yazid bin Muawiyah, kemana para ulama? Bukankah bisa saja, mereka mengerahkan murid-muridnya, pengikutnya untuk berdiri di belakang Hussein, membela cucu Rasulullah? Mengapa hal itu tidak dilakukan?

Apakah para ulama memandang bahwa hal itu sudah masuk ranah politik sehingga mereka tak mau mencampurinya? Apakah mereka telah kalah legitimasi dibandingkan para politisi saat itu? Tidakkah mereka ingat bahwa yang akan dibantai adalah para Ahlul Bait, keluarga Nabi?

Bagi saya itu tetap menjadi sebuah misteri. Hal yang sama terjadi pada masa setelahnya. Ketika terjadi kezaliman penguasa, penyimpangan dalam pelaksanaan sistem politik dan pemerintahan, apa yang menahan para ulama untuk melakukan pengoreksian? Secara terstruktur, terorganisir, dan melibatkan massa tentunya. Karena jika koreksi sendiri-sendiri saya kira beberapa ulama telah melakukannya. Dan tak jarang diantara mereka harus mengahiri hidupnya dalam penjara atau di tiang gantungan.

Fouda memandangnya dengan cara yang keras. Tidak adanya kritik dari ulama yang mampu mengubah kebijakan politik saat itu menjadikan Fouda beranggapan bahwa ulama justru menjadi alat legitimasi para penguasa. Bisa jadi memang ada ulama yang demikian. Istilahnya kalau sekarang ada ulama pro pemerintah, ada ulama pro rakyat. Bisa jadi pula pada saat itu telah terjadi pemisahan antara urusan Negara dan urusan agama, alias Negara sekuler, dimana para ulama tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Lebih suka mengejar kenikmatan ibadah seorang diri.

Tuduhan-tuduhan Fouda memang cukup “kejam”. Tetapi kita harus membuka mata dan pikiran kita, bahwa bisa saja sekian persen dari tuduhan itu benar. Bisa saja. Paling tidak, ada sedikit ulama yang berlaku demikian. Saya tak suka melakukannya atau memikirkannya, tetapi ulama tetaplah seorang manusia. Kadang salah, dan tak jarang lupa atau terlena. Sebuah contoh konkrit pada masa kini. Bukankah banyak para ulama masa kini yang tak ragu-ragu masuk dalam kancah politik yang kemudian akhirnya menenggelamkannya dalam arus politik yang kotor? Mereka tahu tetapi tetap saja mengikuti arus itu. Bukankah di masyarakat sekarang banyak pula terjadi praktik bid'ah, tahayul dan kemusyrikan? Lalu dimana para ulama? Bukankah sekarang banyak pula ulama yang beraliran liberal?

Semua pertanyaan ini akhirnya memaksa saya untuk mau atau tidak mau, sedikit atau banyak, juga "mendukung" kritik Fouda kepada para ulama. Benarkah mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik? Jika para ulama tak mampu memberikan contoh yang terbaik, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Masih banyak memang, ulama yang masih menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, tetapi sayangnya mereka tidak mendapat dukungan dari banyak pihak, sehingga upaya yang mereka lakukan seperti angin lalu. Semoga Allah SWT menguatkan umat ini dengan para ulama yang benar-benar takut Allah, pemimpin yang berpegang pada Al Qur'an dan Sunnah, dan masyarakat yang senantiasa merindukan ridha-Nya.

Team Work

Awalnya saya adalah tipe orang yang suka mengerjakan segala sesuatu sendirian. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari, adakalanya saya harus bekerjasama dengan orang lain. Dalam sebuah tim kerja. Untuk menghasilkan sesuatu secara lebih baik, atau untuk tujuan / kepentingan bersama.

Namun ternyata membentuk tim kerja bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kendati ada banyak orang yang memiliki kepentingan bersama, ada sesuatu yang harus diperjuangkan bersama, ternyata tidak semua orang memiliki kesadaran yang sama. Ada saja orang-orang yang menganggap perjuangan itu tidak penting. Maunya hanya menikmati hasilnya. Saya jadi teringat cerita tentang Bani Israil. Ketika Nabi Musa AS mengajak mereka untuk melawan suatu kaum yang zalim, Bani Israil menjawab, “…pergilah engkau berdua dengan Tuhanmu untuk berperang…”. Seakan-akan hanya Nabi Musa yang membutuhkan kebebasan dari penindasan. Bahkan lebih lagi, ucapan mereka menyiratkan seakan-akan Allah yang butuh kemenangan atas hamba-Nya!! Ckk..ck…ck…

Tapi memang itulah sifat Bani Israil. Maunya enak sendiri. Kalau tinggal menikmati hasil yang baik, mereka berbondong-bondong menyambutnya. Nah, sayangnya, diantara umat Muslim pun ada yang bersifat demikian. Banyak malah. Sifat seperti inilah diantaranya yang menghambat saya ketika hendak membentuk sebuah tim kerja. Hal yang sama juga dialami oleh teman yang lain yang juga menjadi Ketua Tim. Tim kecil memang telah terbentuk dan mampu bekerja dengan baik. Tapi tim yang lebih besar, melibatkan orang yang lebih banyak, sungguh berat rasanya.

Dalam Islam sendiri team work bukanlah hal yang asing. Betapa banyak Nabi telah memberi contoh pentingnya kerjasama tim. Mulai dari hal yang sederhana seperti membangun rumah, masjid, gotong-royong dalam masyarakat, shalat, sampai berperang. Dalam Islam juga diajarkan agar merapatkan barisan ketika shalat agar tampak seperti bangunan (benteng) yang kokoh. Dengan adanya benteng yang kokoh tak akan ada musuh yang mampu menerjang.

Benteng akan berdiri kokoh manakala satu tiang dengan tiang lain terjalin dengan kuat. Dengan kayu atau batu yang seperti jaring. Mengikat kuat. Itulah kerjasama. Ketika satu anggota tim bekerja dengan giat melakukan tugasnya, ia sesungguhnya membuat jalinan yang kuat dengan rekannya. Jika semua anggota tim bertindak demikian, maka akan tercipta “benteng”, sehingga tujuan dibentuknya tim akan mudah tercapai.

Sebaliknya, jika ada satu saja yang “ngglendor”, maka akan terbentuk lubang pada benteng itu. Sehingga bisa saja ada anak panah yang masuk, tombak, atau apapun yang bisa merobohkan benteng atau mencelakai penghuni benteng. Namun sekali lagi, pintu gerbang dari kerjasama adalah kesadaran. Bukan paksaan. Paksaan hanya membuat sebuah bangunan terlihat kokoh tetapi pada dasarnya rapuh. Maka inilah yang mesti dipecahkan terlebih dahulu. Bagaimana membangun sebuah kesadaran kolektif. Kesadaran yang menguatkan. Agar tercipta sebuah kerjasama yang baik. Agar tercapai sebuah cita-cita bersama.