Rabu, 24 November 2010

Racun Yang Tersamar

Anda pernah menjumpai orang yang keracunan? Bagaimana kondisi orang yang keracunan? Bagaimana seseorang bisa keracunan? Uraian berikut ini memang akan membahas mengenai keracunan. Tapi racun yang akan kita bahas disini bukanlah racun dalam bentuk fisik yang bisa termakan, terhirup, atau menempel di kulit kita. Racun yang kita bahas adalah racun yang tersamar. Bagaimana racun bisa tersamarkan?

Racun yang tersamar adalah racun yang berada dalam hati. Racun itu disebut dendam. Mengapa dendam saya sebut sebagai racun yang tersamar?

Kembali pada pertanyaan awal saya, bagimana kondisi orang yang keracunan? Orang keracunan kondisi fisiknya akan menurun. Ia akan menjadi lemah, gelisah, pusing, mual, muntah, mulut mengeluarkan busa, pingsan, hingga sampai kepada kematian. Demikian pula racun dalam hati yang disebut dendam tersebut. Orang yang terbakar dendam hidupnya akan gelisah, lemah akal, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata yang buruk / menyakitkan, tidak menyadari fungsi keberadaan dirinya, sampai pada bekunya hati.

Saya pernah mengalami dendam itu. Betapa menyiksanya. Dan saya mulai menyadari betapa banyak energi saya terbuang untuk mengurusi hal yang mematikan hati saya tersebut.

Orang yang dendam menyimpan bara dalam hatinya. Bara itu adalah kebencian. Secara lahiriah mungkin ia terlihat baik-baik saja, bahkan kepada orang yang didendamnya. Tapi hatinya senantiasa membara. Itulah mengapa saya sebut tersamar. Karena mungkin tak ada orang yang tahu bahwa ia sedang mendendam kepada seseorang. Namun demikian energi negatif yang tersimpan dalam dendam sungguh sangat besar. Jika api telah tersulut, bara itu akan mengobar. Energi negatif akan memancar, meledak dengan luar biasa. Yang bahkan dapat membakar atau menghancurkan orang-orang disekitarnya, sekalipun mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan dendam itu.

Saya menjumpai orang-orang semacam ini di sekitar saya. Dan umumnya, dendam itu muncul karena sebuah kesalahan yang tak disengaja. Artinya, seseorang secara tak sengaja melukai perasaannya, harga dirinya, jiwanya. Orang yang menyimpan dendam umumnya juga orang yang over sensitive terhadap keadaan sekitarnya. Mereka menanggapi segala sesuatu dengan serius. Peristiwa sekecil apapun yang terjadi di sekitarnya bisa menimbulkan kesan yang mendalam bagi dirinya. Sayangnya, tak jarang pula mereka-mereka ini adalah jenis orang yang hidup dalam alam yang penuh kasih sayang. Ini pula yang mungkin membentuk mereka menjadi seorang yang begitu sensitif, sekaligus mudah terpancing untuk menjadi seorang pendendam.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar tidak terbakar dalam dendam? Meminjam istilah ekonomi, kita hendaknya menghitung “biaya-manfaat”nya. Artinya, ketika kita terbakar dendam, pada dasarnya kita telah mengeluarkan “biaya” yang sangat besar dalam diri kita. Biaya itu adalah pikiran, energi, daya juang, keikhlasan, kecerdasan, dan banyak lagi. Kita mengeluarkan “biaya” itu secara sia-sia. Kita tak akan mendapat apapun dari dendam itu. Kalaupun akhirnya kita berhasil membalas dendam, apakah itu menjadikan hidup kita lebih baik? Kalau dendam itu terjadi karena kita telah tersakiti, maka dengan membalas dendam bukankah itu berarti kita juga balas menyakiti? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang menyakiti kita? Bahkan kalau boleh saya bilang kita yang membalas dendam adalah orang yang lebih buruk dari orang yang menyakiti kita. Kok bisa?

Ya, karena orang yang menyakiti kita, yang membuat kita dendam, belum tentu menyadari bahwa ucapannya, tindakannya itu menyakiti kita. Artinya ia tidak sengaja menyakiti kita. Tetapi ketika kita membalas dendam, maka kita memang sengaja menyakitinya. Kesengajaan itulah yang menjadikan kita mengalami penurunan derajat kemanusiaan kita. Kalaupun orang tersebut memang sengaja menyakiti kita, hal itu tetap tidak menjadikan kita pantas untuk membalas dendam.

Kemudian kita juga harus memperhatikan manfaatnya. Apakah benar dendam itu bermanfaat bagi kita? Ataukah justru merugikan kita? Bila kita merasa tersakiti, bukankah jauh lebih baik jika kita mengatakannya, menyampaikannya langsung kepada orang yang menyakiti kita? Atau bisa pula melalui seorang perantara yang bisa dipercaya, untuk menyampaikan bahwa kita merasa tersakiti oleh tindakan atau ucapan seseorang. Rasanya, cara ini akan lebih jujur, terbuka, dan langsung menyentuh ke permasalahannya. Jika orang yang menyakiti kita lalu menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita, bukankah itu hal yang sangat baik. Dan selayaknya kita memaafkan serta menganggap permasalahannya selesai. Lalu bagaimana jika ia enggan meminta maaf, menganggap dirinya tak bersalah, atau ia terlalu arogan untuk meminta maaf?

Maka cobalah untuk memaafkannya. Kendati sulit, tapi cobalah. Bukankah dunia akan menjadi lebih indah ketika kebencian kita balas dengan cinta? Bukankah lebih mulia ketika luka kita balas dengan persahabatan? Disinilah letak ketinggian derajat kita, jika kita mau melakukannya. Atau jika kita lebih berkenan lagi, kita bisa mendekatinya dan meminta maaf terlebih dahulu. Mengapa kita yang justru harus minta maaf? Bukankah kita yang justru tersakiti? Cukuplah kiranya seperti yang dikatakan seorang sahabat saya, seseorang yang meminta maaf lebih dulu bukan berarti ia yang bersalah, tetapi sesungguhnya ia adalah orang yang lebih mulia.

Nama

Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan nama

Itu adalah salah satu ungkapan yang mungkin sering kita dengar ketika kita masih sekolah. Diantara “peninggalan” diatas, manakah yang lebih baik, gading, belang, ataukah nama? Ya, tentu saja peninggalan berupa “nama” adalah yang lebih baik. Mengapa demikian?

Gading atau belang adalah sebuah peninggalan fisik. Suatu saat ia akan hancur dan musnah. Tetapi “nama”, ia dapat hidup abadi sepanjang masa. Ia bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang membuat “nama” menjadi spesial adalah perbuatan yang dilakukan oleh si empunya nama ketika dia masih hidup. Lihat saja, dalam Islam jelas ada nama Rasulullah Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin dan sederet nama shahabat-shahabiyah menempati urutan teratas yang terpatri dalam ingatan kita. Di Indonesia, ada sejumlah nama yang selalu kita kenang, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan sebagainya.

Mereka terus dikenang bukan karena peninggalan fisik, melainkan karena perbuatan mereka. Kita senantiasa merasa mempunyai ikatan dengan mereka, baik berupa cinta, kekaguman, rasa terima kasih dan sebagainya.

Tak perlu jauh-jauh, saya pun mengenang sejumlah nama dalam kehidupan saya. Tidak selalu mereka sudah meninggal. Yang masih hidup pun juga tetap saya kenang dan saya hargai. Mereka meninggalkan sesuatu yang begitu berkesan bagi saya. Dan itu adalah teladan dan nasihat.

Ada diantara sahabat saya yang mengenalkan saya kepada Islam secara lebih jauh, mengajarkan ketekunan dan keistiqomahan. Ada yang mengajarkan kepada saya shalat secara berjamaah di masjid, sehingga saya senantiasa rindu menanti waktu jamaah shalat. Ada yang mengajarkan kepada saya tentang keberanian dalam hidup, atau bahkan menundukkan diri sendiri. Dan banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam hidup saya. Mereka manusia biasa, sering salah dan lupa. Saya kadang-kadang juga tetap merasa jengkel kepada mereka. Tetapi itu tidak membuat penghormatan saya kepada mereka, kenangan saya kepada mereka, menjadi berkurang. “Nama-nama” itu akan selalu saya kenang. Nama-nama itu akan tetap menjadi sesuatu yang bercahaya dalam kehidupan saya.

Sabtu, 20 November 2010

Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 1)

Benarkah Khilafah?

Ada sebuah buku yang cukup menarik bagi saya. Judulnya “Kebenaran Yang Hilang”, ditulis oleh Farag Fouda, seorang aktivis dan peneliti Mesir. Buku ini membahas mengenai khilafah Islam. Berbagai pertanyaan diajukan, berbagai “fakta sejarah” tentang khilafah diungkapkan dalam buku ini. Saya memberi tanda kutip pada kata “fakta sejarah”, karena banyak kalangan menilai bahwa “fakta-fakta” yang disajikan dalam buku ini adalah cerita bohong, lemah, atau tidak dapat dipercaya.

Sebuah contoh yang sering diungkapkan untuk membantah kebohongan “fakta” itu adalah mengenai kematian Utsman ra. Dalam buku ini Fouda mengatakan bahwa pembunuhan atas Utsman ra. telah direncanakan. Bahkan oleh para sahabat-sahabat Nabi yang mulia. Hingga peludahan jenazah Utsman, keengganan umat Islam saat itu untuk menyalatkan Utsman, pematahan persendian jenazah Utsman, dan seterusnya. Fouda mengaku bahwa ia memperoleh “fakta” itu dari kitab-kitab utama umat Islam, seperti karya At Thabari dan Ibn Saad. Namun hal ini segera dibantah oleh banyak kalangan, yang menunjukkan bahwa baik At Thabari maupun Ibn Saad mempunyai banyak riwayat berkaitan dengan peristiwa itu. Dan Fouda mengambil riwayat yang lemah sebagai sumber “fakta” nya. Itu adalah salah satu contoh isi dari buku Kebenaran Yang Hilang. Yang jelas buku ini sangat kontroversial bagi banyak kalangan. Dan justru karena itulah rasanya pantas kita menelaah kembali pemikiran Fouda. Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua pemikiran Fouda dalam bukunya tersebut. Namun akan mengambil beberapa poin yang bagi saya masih menjadi tanda tanya.

Sebuah pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak saya ketika membahas mengenai Khilafah Islam adalah, benarkah Islam telah menerapkan sistem kekhalifahan? Atau, jika memang sudah, benarkah masa kekhalifahan Islam terbentang sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga berakhirnya Kekhalifahan Utsmaniyah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama mestilah kita pahami dulu tentang pengertian sistem kekhalifahan. Menurut Syeikh Abdul Qadim Zallum, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.

Untuk menjadi seorang khalifah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Menurut Imam Abu Zakariya Muhyidin Yahya bin Syaraf An Nawawi ada sebelas syarat yang harus dipenuhi, yaitu ; Muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, berasal dari suku Qurays, mujtahid, pemberani, tajam pemikirannya, tidak tuli, tidak buta, dan tidak bisu. Sedangkan menurut Syeikh Abdul Qadim Zallum syarat-syarat menjadi seorang khalifah ada tujuh, dan ini disebut sebagai Syarat in’iqad. Syarat tersebut adalah Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanat khalifah. Jika kita lihat dari tujuh syarat yang diajukan Syeikh Abdul Qadim Zallum, yang ternyata begitu umum, bisa dikatakan bahwa siapapun dapat menjadi khalifah, dengan syarat telah dibai’at uleh umat. Berbeda dengan Imam An Nawawi, Syeikh Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa seorang khalifah tidak harus seorang mujtahid, pemberani, keturunan Quraisy, tajam pemikirannya.

Tentang keturunan Quraisy misalnya. Kepemimpinan harus di tangan Quraisy disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari, Muslim, dan lain-lain, yang berbunyi “Para Imam itu dari suku Quraisy” dan “Urusan (kekuasaan) ini senantiasa di tangan suku Quraisy selama masih ada dua orang diantara mereka yang masih hidup”. Disini Fouda membantahnya dengan mengatakan bahwa persyaratan ini (Quraisy) adalah sesuatu yang “aneh”. Lebih lanjut Fouda mengatakan bahwa “syarat ini sengaja diletakkan untuk menjustifikasi kepemimpinan kaum Umayyah dan Abbasiyah”. Dari pernyataan ini Fouda jelas-jelas meremehkan hadits nabi. Bahkan yang shahih sekalipun! (Inilah yang membuat banyak kalangan menjadi marah)

Sementara itu Syeikh Abdul Qadim Zallum menengahi dengan menyatakan bahwa hadits-hadits tentang kepemimpinan Quraisy ini merupakan hadits-hadits yang berbentuk ikhbar (informasi), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Bentuk ikhbar (informasi) walaupun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti selama tidak dibarengi dengan suatu qorinah (indikasi) yang menunjukkan penegasan. Hadits-hadit tersebut tidak menunjukkan qorinah, sehingga dapat dikatakan bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan perintah sunnah, bukan wajib. Meskipun kekuasaan selalu berada di tangan orang Quraisy, namun tidak berarti orang selain Quraisy dilarang menduduki kekuasaan.

Demikian pula dengan syarat bahwa seorang khalifah harus mujtahid, pemberani, ataupun politikus ulung. Syeikh Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa syarat ini hanyalah syarat afdhaliyah. Artinya, diusahakan memang seorang khalifah mempunyai sifat demikian. Akan tetapi hal ini tidaklah mutlak. Kalaupun tidak memiliki keutamaan-keutamaan tersebut, selama telah memenuhi syarat in’iqad, maka ia dapat menjadi khalifah.

Seperti yang saya sebutkan di atas, seseorang sah menjadi seorang khalifah manakala ia telah dibaiat oleh umat Muslim. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah, jika seorang khalifah memang harus dipilih oleh umat, dibai’at oleh umat Islam, bagaimana jika ada umat Islam yang tidak puas atas pemba’iatan tersebut? Kalau kita merunut pada sejarah Islam, bagaimana dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib k.w? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Khalifah Hasan Al Askari oleh Yazid bin Muawiyah, yang kemudian menahbiskan dirinya sebagai Khalifah? Bagaimana dengan kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, yang notabene kekhalifahan berdasarkan keturunan, dan disertai dengan pertumpahan darah yang luar biasa pada umat muslim?

Pertanyaan-pertanyaan itulah diantaranya yang diajukan oleh Fouda dalam buku ini lewat pemaparan “fakta-fakta sejarah” yang mungkin jarang kita ketahui. Termasuk mengenai semua penyimpangan, kehidupan hedonis para khalifah, penghalalan khamr, foya-foya, penyimpangan seksual, penghalalan musik-musik dan tarian-tarian erotis, pertumpahan darah terhadap sesama muslim, yang jika memang itu benar, maka patutlah menjadi bahan renungan kita kembali. Atau katakanlah bahwa semua yang dikatakan Fouda adalah sekedar bualan belaka, tetap saja kita layak untuk berpikir. Bahwa Muawiyah ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Saw. Bahwa Ali bin Abi Thalib kw. adalah salah seorang kerabat Nabi yang paling dicintainya, pintu ilmu, salah seorang ulama diantara sahabat Nabi. Mengapa kedua orang shaleh ini harus bertikai? Atau tentang Ummul Mukminin Aisyah ra. Beliau adalah salah seorang istri Nabi yang paling dicintai Nabi, dalam ilmunya, cerdas, menjadi rujukan umat muslim. Mengapa harus terlibat peperangan melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib? Jika memang semua berpegang pada keshalehan itu, tentu semua perbedaan akan diselesaikan dengan cara yang indah.

Kemudian tentang kekhalifahan Umayyah, Abasiyah, dan kekhalifahan seterus-seterusnya. Kekuasaan kekhalifahan berpindah dari seorang khalifah kepada putranya, kepada saudaranya, kepada menantunya, dan begitu seterusnya. Benarkah kekhalifahan seperti itu? Walaupun dibai’at! Tetapi jika yang membai’at adalah keluarganya sendiri, pengikutnya sendiri, tidak melibatkan suara umat Islam lainnya. Sekali lagi, benarkah khilafah? Seolah-olah hanya berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri, dari tangan kiri ke tangan kanan, dan seterusnya. Semua ini adalah tentang POLITIK dan KEKUASAAN. Dan jika berbicara tentang dua hal tersebut, mulai masa kapan pun dan sampai kapan pun akan selalu terjadi penyimpangan. Lalu, jika demikian, bolehkah saya mengatakan, bahwa Kekhalifahan Islam yang sebenarnya hanyalah terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin? Sedangkan yang lainnya adalah sistem kerajaan yang terbungkus oleh istilah kekhalifahan, yang terkaburkan oleh pembai’atan semu?

Pada akhirnya yang terjadi adalah seperti yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid dalam komentarnya yang dimuat di majalah Tempo, yaitu bahwa sejarah tidak pernah suci/sakral. Bahwa kita berusaha mewujudkan sesuatu yang ideal, itu IYA. Bahwa kemungkinan besar keadaan ideal itu tak pernah terjadi, itu juga IYA. Sejarah manusia tak akan pernah lepas dari kekhilafan dan penyimpangan. Para Nabi dan Rasul pun pernah dikoreksi oleh Allah, meskipun tidak berarti bahwa mereka telah berbuat dosa. Akan tetapi, sesuai fitrah kemanusiaannya mereka tetap memiliki kelemahan. Atau bisa dikatakan, sempurna tetapi tidak sempurna.

Namun ada satu hal lagi yang menggelitik pikiran saya ketika membaca pemikiran Fouda ini. Rasanya sungguh mengherankan untuk orang ukuran Fouda, seorang berpendidikan tinggi, aktivis, peneliti, pembicara di berbagai kajian ilmiah, yang beranggapan bahwa ketika umat Islam menghendaki tegaknya kembali sistem khilafah, maka itu termasuk pula segala penyimpangan yang terjadi. Ini adalah argumen utama Fouda tentang alasannya menolak sistem khilafah. Bahwa khilafah mengandung banyak penyimpangan dan kesalahan. Setiap orang yang mau berpikir sedikit saja, rasanya akan sepakat bahwa jika seseorang menghendaki sesuatu yang ideal, tentu itu adalah sesuatu yang sebaik mungkin, sesempurna mungkin. Tanpa kesalahan, cacat, atau penyimpangan. Sama seperti Islam itu sendiri. Islam itu sempurna. Islam itu ideal. Bahwa umat Islam masih terbelakang, miskin, bodoh, tidak lantas menjadikan Islam cacat. Yang cacat adalah umatnya, bukan agamanya. Ini yang secara konyol dilupakan oleh Fouda.

Sebagai penutup diskusi ini, sebuah catatan menarik yang ditulis oleh Fouda adalah bahwa periode Islam selesai/berakhir seiring dengan wafatnya Rasulullah Saw. Periode selanjutnya adalah periode Umat Islam. Apa artinya? Islam diterapkan secara murni, kaffah, hanya terjadi pada periode dimana Rasulullah masih berada di tengah-tengah umat. Karena setiap ada penyimpangan maka Allah akan langsung mengoreksi melalui Rasul-Nya. Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, maka aturan kehidupan selanjutnya mengalami penafsiran berbeda-beda. Cara-cara penerapan Islam secara rigid, persis seperti ketika Rasulullah masih hidup tidak lagi relevan/tepat diterapkan di masa-masa setelahnya, yang notabene dinamika kehidupan yang terjadi lebih kompleks. Ini juga berarti bahwa kemungkinan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Islam sangat ada. Dan itulah mengapa sejarah umat Islam pun tidak suci (terbebas dari penyimpangan). Karena umat Muslim tidak sesempurna Islam itu sendiri. Karena manusia membawa predikat sebagai makhluk yang senantiasa salah dan lupa.

Satu lagi, apa yang saya tulis disini bukan merupakan upaya untuk meragukan kapasitas para sahabat, mempertanyakan kesalehan para sahabat, menolak Periode Emas Kekhilafahan Islam, tetapi hanya sebagai sebuah diskusi. Bahwa kita harus menjaga keyakinan kita tentang Islam itu iya. Dan justru karena itulah kita berusaha mendudukkan persoalan secara berimbang. Tidak berpikir secara dogmatis-literer, ataupun liberalis-sekuler. Tapi kita berusaha menemukan persamaan di antara perbedaan yang ada, untuk menemukan kebenaran sejati. Untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.


Tentang Kebenaran Yang Hilang ala Fouda (Bag 1) selesai...

Kamis, 04 November 2010

Bahasa Yang Terlupakan

Saya tak bermaksud membicarakan mengenai bahasa-bahasa kuno dengan tulisan-tulisan pakunya disini. Bahasa yang saya maksud disini adalah bahasa daerah kita, bahasa tempat kita dilahirkan, bahasa yang mengalir dalam ikatan darah kita, bahasa yang membentuk bahasa nasional kita, bahasa yang membesarkan kita.

Di berbagai tempat, di banyak kesempatan, saya melihat orang tua-orang tua mengajak berbicara anaknya yang masih kecil, mengajari mereka ngomong, dengan bahasa Indonesia. Mereka bangga sekali ketika anak-anaknya, walaupun dengan tertatih-tatih, mampu melafalkan kata-kata, merangkai huruf-huruf pada lisan mereka, kata-kata yang berbahasa Indonesia. Tak hanya di kota, di desa pun juga demikian. Apakah hal ini salah? Apakah mengajari anaknya, membiasakan anaknya berbicara dengan bahasa nasionalnya itu salah?

Tentu tidak. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja yang kemudian menjadi pertanyaan saya adalah, apakah mereka juga mengajarkan bahasa daerahnya, sukunya, klannya, kepada anak-anak mereka? Saya tidak bermaksud mengajak bersikap chauvinisme. Sama sekali tidak. Akan tetapi disadari atau tidak, diakui atau tidak, pengenalan dan pembiasaan berbahasa Indonesia saja tanpa disertai dengan pengenalan dan pembiasaan berbahasa daerah telah menyebabkan bahasa daerah semakin hilang. Coba perhatikan, berapa banyak anak Indonesia generasi saat ini yang masih bisa berbahasa daerah dengan fasih, luwes, dengan segala macam aturan bahasanya? Bandingkan dengan jumlah anak Indonesia generasi saat ini yang fasih berbahasa Indonesia? Bisa jadi, 10-30 tahun lagi bahasa daerah kita benar-benar lenyap dari bumi Indonesia ini!

Satu hal lagi, bahasa daerah memiliki berbagai aturan dan tingkatan. Misal bahasa Jawa. Dalam bahasa percakapan, untuk bicara dengan orang yang lebih muda atau kalangan biasa, atau untuk pergaulan, kita bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa biasa, tanpa penghormatan). Untuk bicara dengan orang yang seusia atau di atas kita sedikit, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Madya (bahasa dengan penghormatan secukupnya/pertengahan). Dan untuk orang yang lebih tua, atau yang kita hormati, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil (bahasa halus, penuh penghormatan).

Dalam bahasa Indonesia memang kita jumpai juga pembedaan penggunaan bahasa ini, bagaimana bahasa tulis, lesan, penghormatan dan seterusnya. Akan tetapi “nilai rasa”nya tidak sebesar dengan menggunakan bahasa daerah. Kalau dalam bahasa iklan, “taste” nya beda. Itulah sebabnya, banyak kata dalam bahasa Indonesia mengadopsi dari bahasa daerah.

Saya jadi berpikir, mungkin itu pula salah satu sebabnya, anak-anak sekarang cenderung kurang menghormati orang tua. Berbicara seenaknya, tidak kenal sopan santun, cuek, bandel, dan seterusnya. Bisa dikatakan, orang tua ikut bertanggung jawab (walaupun bukan mutlak) atas sikap anak-anak sekarang. Mereka tidak membiasakan anak-anaknya bertingkah laku yang semestinya, yang salah satu pintunya adalah melalui bahasa daerah, sehingga sang anak merasa menjadi “terlalu biasa” kepada orang tuanya. “Terlalu biasa” artinya mereka tidak memposisikan orang tuanya dalam posisi yang lebih atas, patut dihormati, patut diteladani. Mereka menganggapnya setara dengan mereka, sehingga mereka merasa tak perlu lah menghormat segala.

Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berpikir ulang, sudah benarkah pola asuh kita kepada anak-anak sekarang. Dan ini dimulai dari bahasa. Jika sekarang orang tua terlalu bangga ketika anaknya bisa berbahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, mungkin suatu saat nanti (dan ini mungkin tak lama lagi), orang tua akan bangga manakala anaknya fasih berbahasa Inggris. Dan ketika saat itu tiba, mungkin kita juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada bahasa Indonesia. Relakah Anda?