Kamis, 04 November 2010

Bahasa Yang Terlupakan

Saya tak bermaksud membicarakan mengenai bahasa-bahasa kuno dengan tulisan-tulisan pakunya disini. Bahasa yang saya maksud disini adalah bahasa daerah kita, bahasa tempat kita dilahirkan, bahasa yang mengalir dalam ikatan darah kita, bahasa yang membentuk bahasa nasional kita, bahasa yang membesarkan kita.

Di berbagai tempat, di banyak kesempatan, saya melihat orang tua-orang tua mengajak berbicara anaknya yang masih kecil, mengajari mereka ngomong, dengan bahasa Indonesia. Mereka bangga sekali ketika anak-anaknya, walaupun dengan tertatih-tatih, mampu melafalkan kata-kata, merangkai huruf-huruf pada lisan mereka, kata-kata yang berbahasa Indonesia. Tak hanya di kota, di desa pun juga demikian. Apakah hal ini salah? Apakah mengajari anaknya, membiasakan anaknya berbicara dengan bahasa nasionalnya itu salah?

Tentu tidak. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja yang kemudian menjadi pertanyaan saya adalah, apakah mereka juga mengajarkan bahasa daerahnya, sukunya, klannya, kepada anak-anak mereka? Saya tidak bermaksud mengajak bersikap chauvinisme. Sama sekali tidak. Akan tetapi disadari atau tidak, diakui atau tidak, pengenalan dan pembiasaan berbahasa Indonesia saja tanpa disertai dengan pengenalan dan pembiasaan berbahasa daerah telah menyebabkan bahasa daerah semakin hilang. Coba perhatikan, berapa banyak anak Indonesia generasi saat ini yang masih bisa berbahasa daerah dengan fasih, luwes, dengan segala macam aturan bahasanya? Bandingkan dengan jumlah anak Indonesia generasi saat ini yang fasih berbahasa Indonesia? Bisa jadi, 10-30 tahun lagi bahasa daerah kita benar-benar lenyap dari bumi Indonesia ini!

Satu hal lagi, bahasa daerah memiliki berbagai aturan dan tingkatan. Misal bahasa Jawa. Dalam bahasa percakapan, untuk bicara dengan orang yang lebih muda atau kalangan biasa, atau untuk pergaulan, kita bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa biasa, tanpa penghormatan). Untuk bicara dengan orang yang seusia atau di atas kita sedikit, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Madya (bahasa dengan penghormatan secukupnya/pertengahan). Dan untuk orang yang lebih tua, atau yang kita hormati, kita bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil (bahasa halus, penuh penghormatan).

Dalam bahasa Indonesia memang kita jumpai juga pembedaan penggunaan bahasa ini, bagaimana bahasa tulis, lesan, penghormatan dan seterusnya. Akan tetapi “nilai rasa”nya tidak sebesar dengan menggunakan bahasa daerah. Kalau dalam bahasa iklan, “taste” nya beda. Itulah sebabnya, banyak kata dalam bahasa Indonesia mengadopsi dari bahasa daerah.

Saya jadi berpikir, mungkin itu pula salah satu sebabnya, anak-anak sekarang cenderung kurang menghormati orang tua. Berbicara seenaknya, tidak kenal sopan santun, cuek, bandel, dan seterusnya. Bisa dikatakan, orang tua ikut bertanggung jawab (walaupun bukan mutlak) atas sikap anak-anak sekarang. Mereka tidak membiasakan anak-anaknya bertingkah laku yang semestinya, yang salah satu pintunya adalah melalui bahasa daerah, sehingga sang anak merasa menjadi “terlalu biasa” kepada orang tuanya. “Terlalu biasa” artinya mereka tidak memposisikan orang tuanya dalam posisi yang lebih atas, patut dihormati, patut diteladani. Mereka menganggapnya setara dengan mereka, sehingga mereka merasa tak perlu lah menghormat segala.

Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berpikir ulang, sudah benarkah pola asuh kita kepada anak-anak sekarang. Dan ini dimulai dari bahasa. Jika sekarang orang tua terlalu bangga ketika anaknya bisa berbahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, mungkin suatu saat nanti (dan ini mungkin tak lama lagi), orang tua akan bangga manakala anaknya fasih berbahasa Inggris. Dan ketika saat itu tiba, mungkin kita juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada bahasa Indonesia. Relakah Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar