Jumat, 03 Desember 2010

Hukuman Mati Bagi Sang Sufi

Al Hallaj. Jika Anda pernah membaca kisah-kisah tentang sufi, nama ini pasti tak akan terlewatkan. Ia adalah salah seorang sufi besar sekaligus kontroversial. Jika di Indonesia, mungkin kita bisa menyandingkan sisi kontroversialnya dengan Syeikh Siti Jenar. Yang membuat mereka sama kontroversialnya adalah pndangan mereka tentang Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawula Gusti – Jawa). Yaitu pandangan yang mengatakan bahwa makhluk – manusia – bisa menyatu dengan Penciptanya.


Dasar pandangan mereka diantaranya adalah ayat Al Qur’an yang mengatakan “…Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (QS. Al Anfaal : 17). Selain itu mereka juga berpegang pada Hadits Qudsi yang berbunyi HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pandangan yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).


Dunia sufi memang penuh misteri. Perkataan Al Hallaj yang terkenal, yang kemudian menjadikannya dihukum pancung yaitu “Ana Al Haq” (Akulah Sang Kebenaran), telah menjadikan banyak orang justru tertarik untuk mendalami dunia sufi. Seperti apa sebenarnya kehidupan seorang sufi itu?


Sikap berlaku sufistik, mendalami tasawuf, sebenarnya berawal dari sikap yang mulia, yaitu zuhud. Sikap ini juga diambil oleh Rasulullah dan para sahabatnya seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Darda’, Salman Al Farisi, Abu Dzar, dan sebagainya. Sikap zuhud adalah sikap yang berhati-hati terhadap kehidupan dunia, menjaga hati agar tidak terpedaya oleh kehidupan dunia yang menyilaukan, menjauhkan diri dari keterikatan terhadap dunia walaupun tanpa meninggalkannya seratus persen.


Namun sayangnya, sikap ini kemudian seringkali disalah-terapkan. Seorang sufi kemudian akhirnya tidak perduli terhadap kehidupan dunia, tidak perduli dengan lingkungan sekitarnya, berlebih-lebihan dalam upaya membersihkan diri dan menyucikan jiwanya. Sehingga yang mereka kejar adalah kenikmatan diri sendiri untuk berjumpa dengan Tuhannya, tanpa perduli orang lain. Mereka seringkali mendahulukan egonya sendiri, walaupun tidak semuanya demikian. Mereka kerapkali juga bertingkah aneh, berucap yang tidak masuk akal, seperti yang dilakukan oleh Al Hallaj.


Al Junaid, seorang sufi yang juga pernah menjadi guru Al Hallaj, mengatakan bahwa Al Hallaj memang pantas untuk dihukum, karena ia belum mampu melepaskan ego dirinya. Oleh karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan. Ia tidak layak mengungkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan “Aku” adalah “Aku” itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen itu masih ada, maka ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya (Abu Sangkan – Berguru Kepada Allah).

Konon, Al Hallaj mengatakan “Ana al Haq” dalam keadaan ekstase. Ekstase adalah suatu keadaan dimana otak mengalami zero mind/no mind. Dalam kondisi ini otak cenderung rileks tapi waspada. Tak jarang, orang yang mengalami kondisi ini merasakan dirinya tidak ada atau hilang. Kondisi ini dapat terjadi ketika seseorang memusatkan pikirannya pada satu titik, yaitu Tuhan. Kedekatan seseorang kepada Tuhannya, kerinduan terhadap-Nya, kecintaan kepada-Nya, bisa menyebabkan orang kehilangan kesadaran dirinya sendiri.


Pun demikian, perkataan Al Junaid memang benar. Katakanlah Al Hallaj memang merasakan kedekatan yang luar biasa kepada Allah, mampu melihat tirai-tirai keghaiban, ia tetap tidak punya hak untuk mengungkapkan itu semua lewat lesannya yang terbatas. Bagaimana mungkin kita mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas dengan sesuatu yang terbatas?


Seorang ulama pernah ditanya, “manakah yang lebih mulia, Al Hallaj yang mengatakan Aku adalah Sang Kebenaran ataukah Muhammad yang mengatakan Aku adalah hamba dan Rasul-Mu?” Jawabannya adalah lebih mulia Muhammad yang mengatakan Aku adalah hamba dan Rasul-Mu. Tidak diragukan lagi, Nabi Muhammad adalah orang yang paling zuhud dan paling mulia. Beliau juga paling dekat dengan Allah. Pun demikian, ketika mengetahui ada diantara sahabatnya yang menjalani laku zuhud yang berlebihan, beliau bersabda “Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah. Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku."


Lebih lanjut, ketika berbicara tentang pengetahuan (ghaib) yang beliau ketahui, Nabi bersabda “Jika kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. Dan cukup dengan ucapan ini, telah membuat para sahabatnya menangis terisak-isak. Apa artinya? Rasulullah mengetahui banyak hal ghaib yang ditunjukkan Allah kepada beliau. Tetapi itu tidak membuat beliau lalai, lupa, sehingga mengungkapkan sesuatu yang tidak akan bisa diungkapkan lewat diri manusia yang terbatas. Beliau bisa menahan diri. Beliau bisa menjaga etika kepada Allah. Sehingga yang beliau ucapkan cukuplah sebuah perumpamaan, yang ini bisa ditangkap oleh para sahabat, dan membuat mereka merasa terharu.


Inilah kiranya, mengapa Al Hallaj, sang sufi besar, harus mendapatkan hukuman mati. Demikian pula dengan Syeikh Siti Jenar. Mereka “tidak tahan” untuk mengungkapkan rahasia yang dititipkan Allah kepada mereka. Mereka tidak mampu melawan ego mereka. Mereka tidak mampu menjaga etika kepada Sang Pemberi Amanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar