Selasa, 17 Mei 2011

The Caliphates

Ada keharuan yang menyelusup ketika membaca sejarah para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka adalah orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Allah. Mereka adalah sahabat-sahabat utama Rasulullah, orang-orang yang mengasihi dan dikasihi oleh Rasulullah. Namun sungguh, jalan yang harus mereka lalui berbeda dari jalan teladan mereka, Muhammad SAW.

Jika Nabi menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir, penentangan terhadap ketauhidan Allah, maka mereka menghadapi orang-orang munafik. Mereka menghadapi sesama Muslim, tetapi jalan hidupnya jauh dari sebutan seorang Muslim. Mereka harus berbenturan dengan politik dan kekuasaan. Bukan lagi tentang bagaimana menegakkan La ilaha illallah di muka bumi. Namun justru dari dua hal itulah – politik dan kekuasaan –awal segala perpecahan, fitnah, dan permusuhan diantara sesama muslim itu terjadi.

Umar dibunuh oleh seorang budak yang depresi. Utsman dibunuh oleh umat muslim sendiri. Demikian pula dengan Ali. Sungguh ironi. Ketika seruan La ilaha illallah telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, umat manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, tetapi justru di jantung kekuasaan Islam sendiri, diantara keberadaan para sahabat senior Nabi, para khalifah yang mendapat petunjuk ini justru dibunuh. Oleh umatnya sendiri! Inna lilahi wa inna ilaihi rajiun.

Membaca lembar demi lembar sejarah kehidupan para Khalifah ini, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a, ada sebuah harapan yang membumbung tinggi. Bahwa umat Islam akan memperoleh kejayaan. Yaitu berhasil menegakkan dan menyebarkan kalimat La ilaha illallah di seluruh muka bumi, mengajarkannya kepada seluruh manusia sehingga semua orang akan mendapat petunjuk Allah, serta mampu memimpin dunia, menguasainya dengan penuh keadilan.

Membaca sejarah Khalifah Umar bin Khattab r.a yang begitu zuhud dan mengagumkan, membuat saya semakin optimis akan umat Islam. Saya sering dibuat terharu dengan sikap Khalifah Umar yang begitu bersahaja dan bijaksana. Namun akhir kehidupannya yang menyedihkan membuat jantung saya serasa berhenti sejenak. Timbul pertanyaan, lalu setelah ini apa? Dan terngiang sabda Nabi SAW, Sesungguhnya engkau (Umar) adalah pembeda / batas antara kebaikan dan fitnah. Jika engkau terbunuh, maka pintu fitnah itu akan terbuka selamanya. Kurang lebih demikian.

Kemudian itulah yang terjadi. Khalifah Utsman memulai hari-harinya dengan sangat berat. Gelombang fitnah menerjang kemana-mana. Demi menegakkan kekhalifahan Islam yang meliputi berbagai penjuru negeri, menjaga stabilitas khilafah Islam, beliau menunjuk saudara-saudaranya untuk menduduki berbagai jabatan di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Karena hanya dengan saudara-saudaranya itulah beliau percaya dan merasa aman. Namun ternyata kebijakan itu justru menimbulkan fitnah-fitnah baru. Bukannya mendapat dukungan dari masyarakat luas, beliau justru dituduh berusaha melanggengkan kekuasaan untuk keluarganya sendiri.

Tuduhan ini paling tidak ada dua macam. Pertama, tuduhan atau mungkin lebih tepatnya kritikan dari para sahabat senior Nabi, yang khawatir atas ketidak-demokratisan sikap Utsman. Karena bagaimanapun, banyak pula orang Islam lain –selain keluarga Utsman - yang cukup cakap untuk mengemban sebuah amanah kekuasaan. Kritikan ini lebih pada upaya mengingatkan Utsman agar jangan menggali kuburnya sendiri. Kedua, tuduhan dari orang yang menghendaki kekuasaan. Mereka berharap dapat memperolah jabatan tertentu dari apa yang telah mereka perbuat “untuk Islam”. Ketika jabatan-jabatan ini kemudian kebanyakan hanya dialamatkan kepada keluarga Utsman, merekapun menjadi berang.

Akhir drama dari semua fitnah ini adalah pengepungan rumah Khalifah Utsman oleh para pemberontak yang kemudian berakhir pada pembunuhan Khalifah yang terkenal sabar dan penyayang ini. Beliau rela menjadi martir atas semua fitnah yang terjadi di kalangan umat Muslim waktu itu. Beliau mencegah para sahabat Nabi lainnya untuk membantu dan melindunginya, karena kasih sayangnya pada mereka semua.

Lembaran terakhir dari sejarah para Khulafa’ur Rasyidin adalah perjalanan berat yang harus ditempuh oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Beliau harus menghadapi situasi sulit berkaitan dengan pembunuhan Khalifah Utsman. Beliau kemudian juga dirongrong oleh golongan Khawarij, para pemberontak yang sebelumnya adalah para pendukungnya, yang kemudian berbalik arah menyerangnya. Dan yang paling utama, beliau juga harus berhadapan dengan sahabat Nabi lainnya, sekaligus anggota keluarga Utsman, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. Konflik terakhir ini lebih bersifat perebutan kekuasaan. Yang kemudian juga berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali.

Sungguh, semua drama itu membuat saya merenung tajam. Bahkan terkadang seperti seseorang yang hendak menggapai bintang di tengah tanah lapang. Saya berpikir, jika perselisihan yang terjadi di masa-masa awal Islam saja sudah seperti itu, padahal diantara mereka banyak orang-orang saleh, para sahabat nabi yang mendapat didikan langsung dari Sang Rasulullah mulia, lalu bagaimana dengan kita, yang hidupnya jelas-jelas jauh dari masa itu? Yang kesalehannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan para sahabat Nabi? Yang tantangannya jauh lebih berat daripada masa-masa itu? Apa yang akan terjadi pada kita?

Saya tidak ingin berputus asa. Tapi jantung saya sudah terasa robek merasakan kepiluan yang terjadi pada masa-masa awal Islam tersebut. Sedih. Dan saya merasa begitu lelah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar