Kamis, 13 Januari 2011

Pengemis dan Anaknya

Entahlah. Saya tiba-tiba merasa tidak terlalu percaya pada mereka. Seorang pengemis. Wanita paruh baya. Dan “anak”nya yang masih kecil dalam gendongannya. Atau dalam genggaman tangannya. Saya memberi tanda petik pada kata “anak” karena saya tidak terlalu percaya juga kalau itu benar-benar anaknya.

Berita-berita yang saya dengar, lihat, baca, membuat saya menjadi ragu dengan “kapasitas” mereka sebagai pengemis. Benarkah mereka memang pengemis? Benarkah mereka meminta-minta karena ketidakberdayaan mereka, kefakiran mereka, kemiskinan mereka? Atau itu hanya sebuah kamuflase? Sebuah perwujudan dari rasa malas mereka? Sebuah bentuk dari kejahiliyahan model baru?

Saya tidak nyaman dengan semua perasaan ini. Seakan-akan saya menuduh orang-orang yang lemah tersebut melakukan penipuan atau kejahatan. Tapi beberapa berita, liputan, reportase, memang menyebutkan demikian. Mengemis tak lagi melulu merupakan sebuah keterpaksaan Tak lagi wujud dari ketidakberdayaan. Melainkan sebuah profesi, pekerjaan yang “berprospek cerah”.

Konon, ada sebuah kampung di salah satu pulau di Indonesia yang semua warganya berprofesi sebagai pengemis. “Profesi” menunjukkan bahwa mereka melakukannya secara profesional (wow!!). Jangan dibayangkan bahwa rumah-rumah mereka berupa gubuk-gubuk reyot dari bambu, triplek, atau tambalan-tambalan kardus. Tidak. Rumah-rumah mereka bisa dibilang bagus. Dengan dinding semen, lantai keramik, cat yang menarik, dan halaman yang cukup untuk menaruh mobil dan sepeda motor.

Mereka tidak tampak sebagai orang yang tidak berpunya. Mereka tidak nampak seperti orang yang lemah tak berdaya. Mereka adalah orang-orang yang sehat jasmani dan rohaninya (?).

Fakta lain yang memperkuat ketidak-percayaan saya kepada mereka adalah ketika lebaran hampir tiba, dapat kita lihat di berbagai sudut kota akan tampak pengemis yang berjalan berderet-deret seperti sedang ada even Jalan Santai Berhadiah. Dan ketika jauh sebelum lebaran atau pasca lebaran mereka menghilang begitu saja. Benarkah kemiskinan datang ketika akan datang lebaran, dan kemudian semua pengemis tersebut menjadi berkecukupan ketika lebaran tlah usai? Sebenarnya fenomena apa ini, dan apa penyebabnya?

Berbagai alasan mungkin dikemukakan, tapi bagi saya ini menunjukkan bahwa orang-orang itu telah kehilangan harga dirinya. Siapapun orang yang mau berpikir jernih pasti tak rela dirinya menjadi orang yang meminta-minta dari satu orang ke yang lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya. Dengan baju kumal dan compang-camping. Orang normal pasti akan malu. Orang akan melakukannya hanya jika sangat terpaksa. Karena kelemahan diri misalnya. Atau kemiskinan yang amat sangat mendera, kendati segala daya upaya telah dikerahkan.

Pengemis-pengemis gadungan itu menderita Sindrom Kemalasan Akut. Coba pikirkan. Mereka rata-rata masih muda, berbadan sehat, diajak bicara masih nyambung, tapi mereka rela berdiri di perempatan-perempatan jalan meminta-minta belas kasihan orang yang berlalu-lalang. Mereka jelas-jelas masih bisa bekerja! Dan ketika mereka pulang dengan membawa “hasil jerih payahnya”, mereka melepas “pakaian kerjanya” dan berdandan necis, kemudian melenggang menuju tempat-tempat hiburan.

Sungguh, rasanya menyakitkan. Dan ini adalah fenomena yang mengerikan. Lebih mengerikan lagi karena mereka mengajak anak-anak mereka, atau anak-anak sewaan, untuk ikut menekuni “profesi” itu. Mereka mengajari sejak kecil generasi-generasi masa depan itu dengan sebuah “profesi yang menjanjikan”! Jika generasi-generasi harapan bangsa ini sejak kecil telah dilatih menjadi orang-orang bermental pengemis, mau dibawa kemana negeri kita ini? Relakah kita kelak, dipimpin oleh “para pengemis”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar