Selasa, 17 Mei 2011

Kejujuran Yang Memberuntungkan

Saya ingat sebuah film yang sangat menarik bagi saya, yaitu Forrest Gump. Anda pernah menontonnya? Tokoh dalam film ini adalah seorang pemuda bodoh / idiot yang bernama Forrest Gump. Meskipun bodoh / idiot, ia menyadari bahwa dirinya bodoh. Salah satu yang paling berkesan bagi saya dari tokoh ini adalah kepatuhannya pada orang tua. Apapun perkataan ibunya (ia tak punya bapak lagi), selalu ia turuti. Karena ia percaya ibunya akan mengatakan hal yang benar kepadanya.

Hal lain yang juga menarik perhatian saya dari tokoh ini adalah kejujurannya. Ia tak perduli apa perkataan orang tentang dirinya, ia tetap berlaku jujur. Kesadarannya bahwa ia bodoh, adalah bentuk paling awal dari kejujurannya. Kepada diri sendiri. Dan menariknya, kejujurannya itu seringkali memberikan keberuntungan kepadanya. Hingga ia berhasil mencapai puncak karirnya, yang ia sendiri, atau siapapun tak akan mengira. Bahwa seorang yang bodoh itu bisa mencapai sebuah kesuksesan yang seringkali diimpikan oleh orang-orang cerdas.

Kisah lain yang juga sangat luar biasa adalah kehidupan Muhammad bin Abdullah. Tak perlu diragukan lagi ia adalah salah satu orang terjujur yang pernah terlahir ke dunia. Jika Forrest Gump adalah tokoh rekaan, maka Muhammad bin Abdullah adalah tokoh nyata yang pernah hidup diantara manusia lainnya. Oleh kaumnya Muhammad diberi gelar Al Amin, yang berarti Yang Terpercaya. Sejak kecil ia selalu bersikap jujur dan santun kepada siapa saja. Ketika terjadi perselisihan diantara kaumnya, ia pulalah yang ditunjuk untuk menyelesaikan permasalahan itu. Padahal usianya saat itu masih muda.

Muhammad terlahir dari keluarga yang terhormat, memiliki harta yang tidak sedikit. Namun gelar yang disandangkan kepadanya bukanlah karena keluarganya, bukan karena hartanya, melainkan karena sifatnya yang bisa dipercaya/jujur. Bahkan seseorang menuturkan bahwa “...jika engkau menitipkan barang kepadanya, ia tak akan menyentuhnya sedikitpun. Jika engkau menitipkan istrimu agar ia menjaganya, sedikitpun ia tak akan melirik istrimu.” Yang luar biasa perkataan ini justru muncul dari orang yang memusuhi Muhammad! Mungkinkah Anda menemui hal semacam itu pada masa sekarang ini?

Ketika beranjak dewasa Muhammad ikut sebuah kafilah dagang menuju Syam yang dipimpin oleh seorang janda kaya bernama Khadijah. Sebagai pedagang Muhammad tetaplah dikenal sebagai orang yang jujur. Ia akan mengatakan kepada calon pembelinya mengenai barang yang dijajakannya secara jujur. Bila barangnya baik, ia akan mengatakan baik. Bila barangnya dalam kondisi buruk, ia pun tetap mengatakannya. Tak heran banyak pembeli yang justru terpikat dengan cara dagangnya itu. Sehingga pada saat kembali ke tempat asalnya, Mekah, Muhammad memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Akhir cerita, majikannya pun juga terpikat dengan budi pekerti Muhammad, hingga ia pun meminta agar Muhammad bersedia menikah dengannya.

Lihatlah, cerita-cerita luar biasa ini bermula dari satu kata. Kejujuran. Dengan kejujuran inilah mereka-mereka memperoleh keberuntungan. Oleh karena itulah judul tulisan saya ini adalah “Kejujuran Yang Memberuntungkan”, bukan “Kejujuran Yang Menguntungkan”. Apa bedanya? Menguntungkan berarti memperoleh keuntungan. Keuntungan adalah sesuatu yang bisa diupayakan untuk diraih. Keuntungan bersifat disengaja. Ada target. Dengan perhitungan tertentu, keuntungan yang dikehendaki / ditargetkan bisa terealisasi. Meski kadang meleset, bisa lebih baik atau lebih buruk, namun tetap saja keuntungan itu ada perhitungannya.

Memberuntungkan berarti memperoleh keberuntungan. Apa yang Anda pikir tentang keberuntungan? Jika saya berkata, orang itu beruntung, apa yang terlintas di pikiran Anda? Kondisi beruntung sering dimaknai dengan memperoleh keuntungan yang tak disengaja. Seseorang tak berniat/berpikir memperoleh keuntungan, tetapi ternyata ia memperoleh keuntungan. Ini disebut sebagai keberuntungan. Begitu juga dalam kisah-kisah di atas. Mereka, Forrest Gump ataupun Muhammad, tidak berpikir bahwa mereka akan memperoleh keuntungan dari sikapnya, jujur. Mereka melakukannya hanya karena mereka tahu bahwa sikap itu adalah sikap terpuji, sesuai dengan nurani, sangat layak untuk diapresiasi dan diamalkan.

Mereka tidak hendak “memperjualbelikan kejujurannya” dengan harta benda, jabatan, prestise, ataupun kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Tidak. Mereka tidak berniat seperti itu. Mereka berpikir, merasa, bahwa jujur itu indah. Fitrah manusia adalah menyukai keindahan. Mereka mendengarkan kefitrahan mereka. Mereka mengikutinya. Maka keberuntungan pun menyertai mereka. Bagaimana dengan Anda? Anda percaya? Silakan lakukan, dan buktikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar