Senin, 25 Oktober 2010

Pengelolaan Harta : Sebuah Sudut Pandang Barat vs Islam

Saya membaca sebuah buku tentang keuangan, yang ditulis oleh seorang praktisi keuangan AS. Dalam buku tersebut ada sebuah contoh kasus yang menarik bagi saya. Sebenarnya ada dua kasus, tetapi digunakan untuk menarik sebuah kesimpulan. Kasus pertama, seseorang membelanjakan uangnya, Rp. 50 ribu – misalnya – untuk menonton sebuah konser musik. Setelah mendapatkan tiketnya ia pergi untuk membeli minuman. Karena begitu banyaknya orang yang antri untuk membeli tiket, tanpa sengaja tiketnya jatuh dan hilang. Akhirnya dengan terpaksa ia harus antri lagi untuk membeli tiket yang sama. Dan artinya, ia mengeluarkan uang Rp. 100 ribu hanya untuk menonton sebuah konser musik.

Kasus kedua, dalam contoh yang sama, hanya saja ketika orang tersebut baru akan membeli tiket konser, ia baru menyadari bahwa ia telah kehilangan uang Rp. 50 ribu di tempat parkir. Namun ia masih punya cukup uang untuk membeli tiket konser tersebut. Menurut sang penulis buku, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa dalam kasus pertama, seseorang kehilangan uang Rp. 100 ribu (dua kali lipat dari yang seharusnya) hanya untuk menonton konser. Sedangkan dalam kasus kedua, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa orang tersebut kehilangan uang Rp. 50 ribu untuk tiket konser, sedangkan kehilangan uang Rp. 50 ribu di tempat parkir adalah biaya lain-lain/tak terduga.

Sang penulis melanjutkan bahwa ini disebut sebagai mental accounting. Disebut demikian karena seorang akunting biasa memilah-milah jenis/klasifikasi biaya dalam pos yang berbeda sekalipun jumlahnya sama. Menurut sang penulis, sikap seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam praktik keuangan, karena pada dasarnya uang yang dikeluarkan/ dibelanjakan adalah sama, sehingga nilai uang = harga yang harus dibayarkan.

Pemikiran sang penulis ini seringkali kita jumpai dalam literasi pemikiran barat, pun juga dalam kehidupan barat secara umum. Kita lihat sekilas saja, pandangan semacam ini bertumpu pada satu hal, yaitu uang sebagai ukuran. Tak perduli untuk tujuan apapun, intinya uang yang diterima atau dikeluarkan, itulah nilai dari sebuah perbuatan / keputusan.

Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Segala perbuatan adalah sesuai niatnya. Begitu salah satu bunyi hadits. Dalam Islam, memang niatlah yang menentukan apakah sebuah perbuatan tersebut bernilai (positif / negatif) atau tidak. Ukuran-ukuran materi bukan merupakan pembanding utama. Tetapi apa yang ada dalam hati, tujuan dari sebuah perbuatan, itulah yang utama.

Misalnya begini, seseorang membelanjakan uang Rp. 50 ribu untuk menonton konser, atau makan-makan, atau bersenang-senang lainnya, dengan seseorang yang membelanjakan uang Rp 50 ribu untuk bersedekah / infaq. Adakah nilainya sama? Jika menilik pada pandangan barat, nilainya pastilah sama. Karena uang yang dibelanjakan sama-sama Rp 50 ribu. Seseorang sama-sama kehilangan uang Rp 50 ribu. Namun dalam Islam, tentu nilainya tidak sama. Angka Rp 50 ribu hanyalah harga, bukan nilai. Nilai dilihat dari niat, harga dilihat dari materi / jumlah.

Dalam Islam, harga / jumlah yang dikeluarkan memang sama dalam dua kasus tersebut. Tetapi nilai dari dua kasus tersebut bisa terpaut sangat jauh. Uang Rp. 50 ribu untuk bersenang-senang, jika tindakan itu untuk menghibur diri agar kemudian dapat beraktivitas / bermuamalah lebih baik lagi mungkin memang nilainya lumayan, minimal mungkin 2 kali sampai 10 kali dari uang yang dikeluarkan. Tapi jika tindakan bersenang-senang tersebut hanya sekedar untuk menuruti hawa nafsu, maka ia tidak bernilai sama sekali. Bahkan bisa bernilai minus / negatif (dosa).

Sebaliknya, uang Rp 50 ribu yang dibelanjakan untuk bersedekah / infaq, nilainya bisa sampai 700 kali lipat, bahkan tak terbatas, dari jumlah uang yang dikeluarkan. Dengan syarat ikhlas tentunya. Coba bandingkan, mana yang lebih baik dari dua pandangan tersebut, Islam atau barat? Memang, nilai yang diakui dalam Islam kebanyakan tidak bisa dilihat / diketahui saat ini (di dunia). Baru bisa dilihat nanti di akhirat. Tetapi bukankah hidup kita memang tidak melulu di dunia? Bukankah suatu saat kita akan kembali kepada-Nya? Keyakinan seperti inilah yang seringkali diabaikan oleh barat. Bukannya mereka tidak tahu, tetapi mengabaikan, menganggap tidak terlalu urgen. Yang terpenting adalah sekarang, di dunia ini. Maka bersyukurlah bagi Anda yang menjadi Muslim, yang memiliki mental accounting dengan acuan ilahiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar