Selasa, 12 Oktober 2010

Budi dan Istana Surga

Anak itu bernama Budi. Mestinya ia tak pantas lagi disebut sebagai anak-anak. Usianya sekitar 20 an. Tapi tingkahnya masih seperti anak kecil. Ditambah postur tubuhnya yang kecil. Dan ia selalu berada dalam dunianya sendiri.

Budi sering bermain di instansi tempatku bekerja. Sekedar ikut nongkrong di parkiran, walaupun ia sering dikerjain oleh orang-orang yang berada di situ. Atau nggloso di Mushalla. Atau kesana kemari sambil teriak-teriak, bersiut-siut, tertawa-tertawa sendiri, atau kalau lagi beruntung, ia diajak bicara, bercanda, bahkan diberi uang oleh orang-orang yang mengunjungi instansi kami. Pagi hingga siang, siang hingga sore ia disitu. Mampir ke warung adalah momen yang tak pernah ia lewatkan. Ngopi, atau merokok adalah wajib baginya. Kendati banyak orang telah mengingatkan perihal kebiasaan buruk merokoknya itu. Bila ia tak punya uang untuk beli makan atau ngopi, ia akan menangis, meraung-raung, bahkan mencak-mencak tak karuan. Jika sudah begitu orang-orang akan iba, dan memberikan uang sekedarnya, seribu, dua ribu, atau lima ribu. Dan ia akan diam.

Tukang parkir dan cleaning service adalah orang-orang yang paling sering ngerjain Budi. Dan anak malang itu akan marah-marah, teriak-teriak, membuat takut beberapa pengunjung. Aku juga pernah melihat, atau mendengar, ia berlari ke tengah jalan yang sering dilalui oleh truk dan kendaraan-kendaraan lain dalam kecepatan tinggi. Berteriak-teriak sambil meneriakkan kata “mati, mati, mati!” Seakan-akan ia ingin mengakhiri hidupnya. Entah apa yang ia rasakan. Entah apa yang ia pikirkan (apakah ia masih bisa berpikir?). Lalu beberapa orang akan segera menggendongnya, menariknya (atau memaksanya) ke tepi. Memberinya beberapa lembar uang, dan ia akan bersungut-sungut meninggalkan tempat itu.

Kadang hati ini begitu perih menyaksikan itu semua. Seorang anak malang, anak yang “tak lengkap akalnya”, mengalami itu semua. Dari penjaga warung di sebelah instansi kami, baru tahulah aku akan sejarahnya. Konon Budi lahir dari sebuah hubungan gelap, perzinaan. Ketika masih dalam kandungan ia pernah digugurkan. Tapi pengguguran kandungan itu gagal. Budi tetap hidup. Budi tetap lahir. Tetapi fisiknya yang agak mengalami gangguan. Dan mentalnya tak terbentuk sempurna. Orang tua kandungnya tak mau merawatnya. Sejak kecil ia dirawat oleh orang lain. Orang yang ternyata mengantar ibu si Budi untuk menggugurkan kandungan. Orang yang tak sadar jika ia diminta mengantar untuk menggugurkan kandungan. Orang tua inilah yang kemudian iba terhadap si Budi, dan merawatnya hingga ia berusia 20 an ini.

Sungguh, Allah menciptakan segala sesuatu penuh hikmah. Tak ada yang sia-sia dari ciptaan-Nya. Aku kadang berpikir, bisa jadi anak seperti Budi, orang-orang seperti Budi ini, yang kelak masuk surga terlebih dahulu. Lebih dahulu daripada kita-kita (jika kita masuk surga). Aku ingat tulisan Syeikh Mutawalli Sya’rawi, bahwa orang yang tidak berakal tidak dibebani syariat. Artinya, setiap perbuatan mereka, sepanjang mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan, tidak ada nilainya. Jika ia berbuat baik maka tidak ada pahala atasnya. Jika ia berbuat jahat tidak ada dosa padanya. Mereka ibarat kertas putih yang tetap tak ada tulisannya (kendati bukan balita lagi). Sekalipun dari luar terlihat lusuh, tetapi bagian dalamnya tetap putih.

Mungkin kelak di akhirat mereka menjadi orang-orang yang paling sempurna akalnya. Orang-orang yang paling sempurna fisiknya. Orang-orang yang dekat dengan Allah. Mungkin mereka kelak di akhirat akan termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama kali mewarisi istana surga. Orang-orang yang mendapat kenikmatan tiada tara dengan memandang Wajah-Nya. Dan kita, orang-orang yang konon mempunyai pemikiran yang cerdas, fisik yang rupawan, harta benda yang berlimpah, amal yang konon juga banyak, mungkin justru terseok-seok mengikuti mereka. Mungkin justru masih dibakar di neraka demi membersihkan dosa-dosa kita. Mungkin hanya bermimpi tentang istana surga...
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar