Jumat, 17 September 2010

SMS



Gema takbir yang menandai malam takbiran belum dimulai, tetapi saya sudah menerima sms dari seorang teman yang mengucapkan Minal Aidin Wal faidzin kepada saya. Dan selanjutnya lebih banyak lagi ketika takbir telah bergema dimana-mana. Mulai dari yang berbahasa Arab, yang puitis, yang lucu-lucu, yang pake bahasa Jawa tingkat tinggi (sampe saya ngga ngerti artinya – saya yakin yang nulis juga ngga ngerti artinya). Sampai saya bingung juga, mau yang mana dulu yang seharusnya saya balas. Tapi, ..ah sudahlah, bukan itu yang ingin saya obrolkan disini.

Melihat berita tentang perkembangan teknologi saat ini benar-benar luar biasa. Hal-hal yang dulu ketika kita masih kecil sering kita khayalkan sekarang ini bisa menjadi sebuah kenyataan. Tak terkecuali teknologi telekomunikasi. Saya jadi berpikir, apakah memang benar telah tiba masanya ketika manusia tak butuh lagi untuk bertemu dengan sesamanya secara langsung, cukup terwakili oleh media. Bayangkan saja, untuk komunikasi dengan orang lain kita telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan. Mulai dari telepon (konvensional), ponsel, internet (yang punya banyak varian fasilitas komunikasi),

Untuk kasus Iedul Fitri ini saja, orang jadi tak merasa ”wajib” untuk bertemu dengan sanak keluarganya, handai tolan, teman-teman lamanya. Semuanya bisa terwakili lewat beberapa larik tulisan dalam sms, atau telepon yang beberapa menit saja, atau say hai dalam jejaring sosial dalam sekali sentuh.

Saya jadi berpikir, apakah ”diri” kita ini menjadi begitu tidak penting bagi orang lain, dan begitu pula sebaliknya, keberadaan orang lain tak lagi penting bagi kita? Ataukah memang media telah cukup mewakili semua keberadaan kita itu? Ataukah teknologi telah membutakan kita, sehingga hal apapun itu asalkan ada sentuhan teknologi maka semua akan menjadi baik?

Saya jadi berpikir mungkin suatu saat diri kita sejati ini tak lagi diperlukan. Kita cukup mewakilkan segala sesuatu melalui media, atau implant diri kita. Jika kamu telah melihat film ”Surrogate” kamu akan paham maksud saya.

Ah,... semoga ini hanyalah pikiran bodoh saya, yang tak bisa memahami filosofi keruwetan teknologi itu. Satu hal yang pasti, kita harus belajar menjadi bijak untuk memanfaatkan teknologi yang berseliweran di sekitar kita. Ok bro?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar